Belajar dari sejarah dan melihat realitas bahwa bangsa ini terlahir dari berbagai macam perbedaan, baik suku, budaya, ras, adat istiadat, agama, bahasa, dan masih banyak jenis perbedaan lain. Seringkali seseorang takjub pada keindahan pelangi yang terdiri atas aneka macam warna, tetapi enggan menerima kenyataan bahwa perbedaan sebenarnya membuat sesuatu jauh lebih bermakna. Indonesia ini terbentuk di atas kemajemukan, dilatarbelakangi oleh masyarakat yang multikultur. Dalam ranah multikultural, sebaiknya kita tidak hanya berhenti pada toleransi pasif, dalam artian kita tidak boleh hanya sekadar memahami kenyataan bahwa kita ini plural dan ada perbedaan di antara kita. Lebih dari itu, kita harus melangkah jauh, memasuki dan menyelami samudera perbedaan itu. Saling mengenal, membangun dialog, memperkuat solidaritas tanpa memandang latar belakang, dan sama-sama memperjuangkan hak sebagai warga negara.
Bukan hanya perbedaan lintas agama yang patut dihargai, karena sekarang ini perbedaan lintas ormas dalam suatu agama justru lebih sering mengalami kontraversi. Antara satu ormas dengan ormas lainnya tak jarang saling gesek dan menganggap kelompoknya sebagai superior dan yang lain inferior, padahal menganut agama serta menyembah Tuhan yang satu dan yang sama. Meminjam istilah Dr. Amin Abdullah dalam bukunya Studi Agama, bahwa yang menjadi polemik umat saat ini ialah adanya penyakit truth claim atau klaim kebenaran, yang membawa implikasi bahwa adanya pengkotak-kotakan pemahaman teologi pada enclave tertentu. Bukan hanya dalam persoalan teologi sebenarnya, hal sederhana seperti perbedaan etnik maupun gender pun acapkali ditemui pihak-pihak yang gemar melakukan truth claim.
Sejauh ini saya menganggap bahwa yang membuat seseorang terperangkap dalam tempurung adalah faktor pergaulan, bacaan, dan pengalaman. Seseorang bisa mengeklaim bahwa pendapatnya yang paling absah dikarenakan bahan bacaannya hanya itu-itu saja, dalam arti sempit tidak memberikan kebebasan bagi otaknya untuk mengonsumsi bacaan dan dari penulis yang berbeda. Sama halnya saat seseorang memutuskan untuk mendengarkan ceramah dari satu ustad saja, dan menafikan ceramah dari ustad lain yang tidak sekufu dengannya. Saat saya menulis paragraf ini, saya sempat berpikir bahwa mereka yang menutup diri dari mempelajari ilmu lain dan enggan keluar dari zona nyaman, sebenarnya sedang mendeklarasikan diri kepada dunia bahwa ia seorang agresif dan fanatik. Mungkin stigma ini terkesan barbar, tetapi untuk bisa berlaku moderat dan toleran terhadap orang lain yang berbeda dengan kita, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah keluar dari zona nyaman dan mengecap banyak pengalaman.
Bagaimana bisa seseorang bisa mengetahui pedisnya seblak jika tidak pernah mencobanya? Jika hanya mendengar penilaian orang lain tanpa merasakan tampaknya kurang adil dan tidak pantas dijadikan sebuah alasan untuk berpendapat. Demikian yang harusnya kita pahami sebelum memutuskan untuk menilai suatu kelompok atau paham tertentu. Saya begitu tertarik pada perkataan seorang kawan, Mbak Stevie Evans, yang kini hidup di Finlandia -terima kasih telah banyak memberi pengalaman-:
“Kalau saya memiliki uang 500 juta saya akan memilih untuk menikmati alam liar Afrika selama 3 bulan, daripada membeli tas Hermes. Kalau saya memiliki uang 300 juta, saya akan memilih menjelajahi Amerika Latin yang eksotis, daripada membeli jam tangan Rolex. Kalau saya memiliki uang 100 juta, saya akan memilih untuk road trip di Asia Tenggara daripada membeli pakaian berlabel Louis Vuitton ....”
Kita memang akan selalu dihadapkan oleh pilihan, dan itu adalah pilihannya yang menurut saya sangat bijak. Mengapa saya menyertakan perkataan beliau? Karena menurut saya membeli pengalaman jauh lebih berharga, pengalaman adalah investasi hidup yang bisa memperkaya wawasan kita. Dengan pengalaman, kita mungkin akan mengerti bahwa kita tidak akan pernah mencapai kebenaran absolut. Dengan pengalaman kita bisa melihat dunia lebih luas, yang secara perlahan membuat kita berpikiran terbuka dan semakin toleran. Agaknya nilai kebenaran itu memang relatif; bagi seorang muslim dan umumnya bagi orang-orang Timur cipika-cipiki antara laki-laki dan perempuan adalah salah dan haram hukumnya, tetapi bagi orang Barat bahkan sebagian orang Indonesia menganggap hal itu lumrah dan sebagai bentuk keakraban.
Orang Barat melihat kita makan pakai tangan itu menjijikkan dan tidak higienis, bukankah ada alat makan? Sementara orang Indonesia melihat orang Barat hanya membasuh pakai tisu setelah buang air, dianggap menjijikkan dan tidak higienis, bukannya ada air? Padahal keduanya bukan kebiasaan yang menjijikkan, melainkan way of life atau sebuah cara hidup yang sudah terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari. Dari hal sederhana ini sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa perbedaan yang terjadi antar paham teologi di Indonesia bukanlah sesuatu yang patut dipersoalkan, semua hanya perbedaan sudut pandang, dari sisi mana kita berpijak saat melihat sesuatu. Tak masalah jika harus berbeda, yang terpenting adalah kita bisa hidup berdampingan dengan tetap menjaga relasi sebagai sesama umat manusia.
Seorang muslim wajar bila menganggap bahwa agamanya benar dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, umat Kristiani juga demikian menganggap bahwa ajaran Kristen sangat sesuai dengan Pancasila terutama soal kemanusiaan, begitu pula dengan umat Hindu, Budha, dan penganut kepercayaan yang lain. Masing-masing kepala membela apa yang ia yakini, dan itu adalah manusiawi. Yang tidak wajar adalah ketika seseorang menjelekkan dan menjatuhkan kepercayaan orang lain apalagi jika sampai pada tahap penggolongan loket surga-neraka. Bahkan dalam beberapa kasus, sangat mudah seseorang men-judge saudaranya sesama muslim sebagai kafir dan pelaku bid’ah hanya karena perbedaan paham syariat. Meskipun begitu, bentuk keberagamaan manusia tentu akan mengalami transformasi seiring bertambahnya pengetahuan dan pengalaman hidup.
Agama mengajarkan perdamaian dan persatuan umat, tetapi betapa banyak permusuhan dan pertikaian yang terjadi atas nama agama. Sehingga dalam kasus ini, saya sering kali menolak ajakan untuk bergabung ke dalam ormas-ormas yang mengobral nama agama serta kemaslahatan umat. Saya tetap mengapresiasi para pendiri organisasi yang memiliki tujuan awal untuk berdakwah dan mempersatukan umat. Akan tetapi, saya tidak ingin menutup diri melihat fakta hari ini, bahwa umat justru terpecah belah dan saling menghakimi satu sama lain demi membela organisasi dan ustadnya masing-masing. NU memiliki ustadnya sendiri, Muhammadiyah, Wahdah Islamiyah, dan ormas lainnnya juga memiliki ustadnya sendiri, sehingga tak jarang ada pihak yang hanya ingin mendengarkan ceramah dari ustadnya dan menepis yang lain karena menganggap tidak sekufu.
Ironisnya lagi, cara berbusana seseorang sering kali dikait-kaitkan dengan teologi maupun organisasi tertentu. Berkali-kali saya bertemu orang yang melontarkan pertanyaan, “aliran kamu apa? Apa kau Syiah? Kamu anggota WI?” Beberapa di antara sekian banyak pertanyaan yang menurut saya “kurang sopan” untuk dilontarkan, sama saja ketika seseorang mengurek hidup orang lain dengan menanyakan berapa gajimu. Jika kita ingin merenung sejenak, sebenarnya sejak kapan pakaian menjadi simbol teologi tertentu atau bahkan menjadi simbol kesalehan seseorang? Di Eropa sana, pertanyaan “agamamu apa” adalah sebuah pertanyaan sensitif, karena apa pun latar belakang agama atau bahkan etnik seseorang bukanlah hal yang penting untuk menjalin persaudaraan. Konteks pertanyaan yang demikian menurut saya tidak jauh-jauh dari rasisme dan babak awal dari bentuk diskiriminasi.
Saat melihat perempuan memakai celana sejengkal tidak patut jika kita mengeklaimnya sebagai penghuni neraka. Saat bertemu perempuan serba tertutup, memakai cadar atau bahkan purda, bukan berarti dia seorang fundamentalis atau malah melabelinya teroris. Saat bertemu dengan seseorang yang berpikiran bebas-rasional-tanpa batas, tidak serta merta kita menganggapnya liberalis. Karena teologi tidak memiliki seragam khusus, apalagi jika hal demikian kita temui di daerah yang multikultur seperti Indonesia ini, yang mana semua jenis kebudayaan diserap habis, baik dari Barat maupun Timur. Negara ini sudah diakui dengan kebhinnekaannya, maka absurd jika warganya sendiri yang menodai nilai-nilai Pancasila atas nama agama atau malah mengatasnamakan bangsa di balik praktik politik identitasnya.
Setelah mengalami transformasi keberislaman, saya merasakan ada banyak perbedaan yang memang tidak untuk disamakan, tetapi disatukan. Saya percaya bahwa kreatifitas manusia bukanlah suatu hal yang patut diragukan, terbukti dari banyaknya hal yang dapat manusia ciptakan, termasuk budaya dan aturan baik tertulis atau pun tidak. Mengenai pluralitas dan media pemersatu, selain telah diterangkan dalam agama juga terdapat di dalam ideologi dan dasar negara. Selain itu, di setiap etnik di Indonesia juga telah mengatur dan bahkan memberi solusi terkait perbedaan di tengah masyarakat yang plural melalui aturan adat istiadat. Sebagaimana yang kita temukan pada salah satu etnik di Sulawesi Tenggara, yakni etnik Mekongga.
Jika menilik kehidupan masyarakat Mekongga yang sebagian besar mendiami wilayah Kolaka ini, sebenarnya sangat filosofis, sejalan dengan konsep “Bhinneka Tunggal Ika”, dan mencerminkan dukungan terhadap pluralisme di Indonesia. Hampir di setiap sendi kehidupan masyarakat Mekongga selalu disimbolkan dengan bentuk lingkaran, mulai dari tarian lulo yang disebut-sebut sebagai tarian pluralisme dan multikultural, hingga pada instrumen adat kalosara yang disebut sebagai media pemersatu umat. Saya pribadi bukan terlahir sebagai etnik Mekongga, akan tetapi sebagai seseorang yang lahir dan tumbuh di wilayah Mekongga ini sangat merasakan toleransi dan solidaritas masyarakatnya.
Di sana kita bisa menemukan orang-orang yang bangga dengan kelompoknya, tetapi juga bangga dengan kamajemukan. Jika orang lain masih sibuk membicarakan hukum mengucapkan selamat Natal, selamat Imlek, dsb, sebagian besar mereka justru saling berbagi dan bersilaturahmi di hari-hari bahagia seperti itu. Di kampung saya, sebuah masjid berhadapan persis dengan gereja, dan gereja bersampingan dengan pura sebagai tempat peribadatan umat Hindu. Hal ini tidak membuat masyarakat bertikai dan saling menuding, sekalipun Islam sebagai agama mayoritas di sana dan Kristen minoritas (Hindu lebih mendominasi daripada Kristen). Karena selain nilai-nilai agama dan kebhinnekaan, mereka juga diikat oleh kalosara sebagai media yang harus dihormati bagi seluruh masyarakat di Bumi Mekongga.
Berada di lingkungan dengan paham teologi masyarakat yang multikultural dan juga multietnik, memberikan gambaran tersendiri bagi saya tentang pentingnya berjiwa nasionalis, bukan hanya agamais. Karena betapa banyak yang mengaku pegiat dakwah tetapi pada kenyataannya tidak mampu menghargai perbedaan. Multikultural seharusnya dijadikan ajang untuk mendeklarasikan pada dunia bahwa bangsa ini sangat kaya dan unik. Sudah saatnya perbedaan itu dirayakan, bukan dipersoalkan apalagi diperkarakan.
Salam hangat,
AUW