Sabtu, 24 April 2021

IRT Menjadi Lulusan Terbaik?

Kuliah adalah salah satu momen berkesan bagi beberapa orang, terutama masa semester akhir yang disibukkan dengan skripsi dan berbagai macam ujian lainnya. Jika kebanyakan mahasiswa menakuti momen ini, saya justru sangat menikmati dan mendambakan momen serupa terulang lagi, mungkin dengan menyusun tesis atau disertasi (semoga). Uniknya, kondisi saya sedikit berbeda dari teman-teman yang lain, lantaran status yang tidak lagi lajang sehingga harus membagi waktu antara kuliah, mengurus suami dan anak serta pekerjaan rumah yang selalu menanti. Tantangan itu semakin menarik karena selain IRT dan menjadi mahasiswi, saya juga mengajar program tahfidz di salah satu sekolah swasta yang jaraknya lumayan jauh dari rumah setiap jam 4 sore sepulang kuliah hingga ba’da Isya. Disamping rutinitas dan tuntutan sebagai seorang penulis yang harus selalu produktif menghasilkan karya karena ada pembaca yang menunggu buku terbaru. Sejak hamil hingga melahirkan saya pribadi tidak pernah dan tidak ingin mengajukan cuti akademik karena tidak ingin kehilangan banyak momentum, sehingga hanya mengambil surat keterangan dokter untuk izin melahirkan. Tidak ada istilah memanjakan kehamilan, sejak trimester satu hingga akhir saya mengendarai motor sendiri ke kampus. Tiga pekan pasca persalinan, bayi yang masih berusia 21 hari itu dengan tega saya bawa dari Sulawesi Tenggara (karena saya bersalin di kampung halaman, RSBG Kolaka-Sultra), untuk kembali ke Makassar melalui jalur laut dengan perjalanan sehari semalam. Tiba di Makassar, keesokan harinya saya sudah kembali bergabung di kelas menerima pelajaran dalam kondisi masih nifas. Usia 2 bulan, saya sudah membawa bayi ke kampus untuk ikut serta mendengarkan petuah bijak dosen di jurusan filsafat. Bayi yang masih merah itu saya letakkan dalam gendongan kemudian mengendarai motor sendiri di tengah kemacetan Kota Daeng. Hingga tak terasa putri kecilku selalu setia menemani hingga proses penyelesaian skripsi dan wisuda. Karena penelitian saya dilakukan di Sulawesi Tenggara, maka saya harus bolak-balik Makassar-Kolaka untuk melengkapi isi skripsi dengan membawa bayi di tengah wabah pandemi Covid-19 sehingga kami berdua harus rapid tes setiap melakukan perjalanan. Apa yang membuat saya senekat ini? Jawabannya adalah semangat dan sugesti positif, saya tidak tahu bagaimana jadinya jika keduanya hilang, mungkin saya sudah pasrah dan berhenti di tengah jalan. Hal unik lainnya, saya sibuk melakukan penelitian saat teman-teman seangkatan saya belum ada di tahap ini. Dalam artian, saya mencuri start lebih dulu untuk menyibukkan diri saat yang lain masih santai, sebenarnya saya juga bisa bersantai-santai dulu karena waktu masih banyak tetapi ada bisikan dalam diri saya yang terus meronta berkata “lakukan sekarang”. Saat semester 5 saya sudah mengajukan 3 judul skripsi dan semuanya di-acc, sehingga saya disuruh memilih satu judul yang paling saya inginkan. Semester 6 saya sudah membuat proposal meskipun belum diseminarkan karena jadwal untuk sempro ketika itu belum bisa dibuka untuk mahasiswa semester 6, maka saya habiskan waktu penantian jadwal itu untuk observasi dan meraup informasi lebih dulu mengenai judul yang saya pilih. Sambil bertanya dan terus konsultasi dengan kedua pembimbing saya yang sangat sabar dan luar biasa: Bapak Wahyuddin Halim dan Bapak Muhaemin Latif; saya sangat bersyukur mendapat pembimbing yang egaliter dan sangat welcome seperti keduanya. Ketika akademik mengumumkan jadwal sempro, saat itu juga saya rapid lagi dan memesan tiket pesawat ke Makassar agar bisa mendaftar sempro secepatnya. Alhasil, saya telah seminar proposal sebelum KKN dilaksanakan. KKN 45 hari bayi tetap saya bawa, begitu juga proses KKL yang dilaksanakan di Kajang saya membawa serta bayi di atas bus. Mungkin ada yang bertanya kemana ayahnya? Kebetulan suami saya bekerja di salah satu perusahaan swasta yang pastinya terikat mulai pagi hingga menjelang Magrib, mulai Senin-Sabtu sehingga tidak ada jalan keluar selain saya harus membawanya kemana-mana. Tapi saya menikmati itu, dan sehingga membuat perjalanan hidup saya semakin berwarna. Mengetik skripsi saya lakukan di malam hari ketika bayi sudah terlelap, karena jika masih melek dia akan sibuk ikut memencet keyboard dan bisa-bisa skripsi yang sudah diketik itu hilang terhapus. Maka rela begadang, dan memang sering begadang demi terbitnya karya buku maupun tulisan yang lain. Sepulang KKL, saya mulai mengurus pemberkasan untuk ujian komprehensip, menyusul ujian hasil, ujian tutup, dan momen yudisium yang membuat hati saya membuncah bahagia sekaligus haru. Karena diantara banyaknya nama wisudawan April 2021 di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, nama saya berada di urutan pertama dengan IPK 3.96 cumlaude dengan waktu penyelesaian studi 3 tahun 6 bulan. Ingin menangis, tapi air mata tak sempat jatuh, hanya bisa berkaca-kaca. Karena kesibukan sejak ujian kompren hingga yudisium, saya sendiri lupa bahwa belum datang bulan sehingga memberanikan diri untuk testpack dan ternyata positif dan masih trimester awal. Hal tak terduga dan membuat saya spechless adalah kehamilan kedua ini saya lalui di tengah aktivitas yang begitu padat; mengisi seminar, mengurus ujian, berkas-berkas, kesana kemari meminta tanda tangan dosen, naik turun tangga dan membawa kendaraan sendiri. Tetapi Tuhan selalu menguatkan, meski dalam kondisi hamil muda yang konon rentan bila ibu terlalu lelah dan stres. Alhamdulillah semua baik-baik saja. 
Hari wisuda itu tiba, lebih dari 1300 wisudawan/wisudawati UIN Alauddin, beberapa nama terpilih untuk mewakili wisuda secara offline yaitu 2 orang perwakilann lulusan terbaik setiap jurusan, dan yang lain tetap wisuda online lantaran efek pandemi. Nama saya salah satu di antara yang terpilih, dengan bangga saya meminta kehadiran orangtua menyaksikan hari itu. Lagi-lagi mata saya berkaca ketika Pak rektor berbicara di podium: “Kalian semua yang diwisuda hari ini adalah yang terbaik, tetapi kalian yang ada di ruangan ini di gedung ini adalah best of the best. Dan untuk orangtua wisudawan yang berada di depan saya harus berbangga karena mereka ini adalah best of the best.” Ketika nama saya disebut sebagai terbaik pertama bukan hanya di jurusan, tetapi juga terbaik sefakultas, tiba-tiba terngiang lagi drama dan perjuangan yang saya lalui sejauh ini. Dan ketika 2 buah piagam dari rektor dan juga dekan yang bertuliskan “Alumni Terbaik I” itu berada di tangan saya, semua lelah, peluh terbayar dan puas dengan setiap malam yang telah saya lewati dengan begadang. Juga dengan bangga pada biodata di bagian akhir skripsi saya bahwa saya telah menulis 20 judul buku sejak 2017 hingga sekarang. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Saya juga tidak pernah membayangkan momen-momen ini bisa mampir dalam hidup saya, tetapi yang selalu saya lakukan adalah mencoba dan memiliki jiwa yang selalu haus untuk belajar. 
Mengapa nilai saya bisa seperti itu? Karena sejak kecil kedua orangtua saya yang luar biasa itu, menggembleng untuk belajar dan mencintai pendidikan. Sehingga setiap dosen menjelaskan, saya harus menyimak dengan baik dan menulis poin pentingnya sekalipun dalam bentuk mind mapping. Maka ketika ujian tiba, tidak lagi ada sistem SKS atau kebut semalam, karena sudah belajar selama kurang lebih 6 bulan atau satu semester. Maksimalkan kehadiran, saya sendiri sejak SD paling anti untuk absen dan bolos. Kerjakan selagi ada waktu, jangan menunda banyak hal, dan miliki target hidup yang harus dicapai. Yang paling penting bukanlah angka, tapi kualitas. Tetapi ketika kebiasaan baik itu dilatih, maka nilai adalah bonus yang pantas untuk ditanggung. Stop dulu mengatakan tidak bisa, lakukan saja dulu, hasil urusan akhir. Terima kasih orang-orang baik di sekitarku, dan cerita yang tidak bisa saya tuliskan semuanya di sini meskipun masih banyak hal lainnya yang ingin saya ceritakan. See you next time!
By: AndiUlfa Wulandari