Mengapa harus menyebut “Second Home”? Separuh waktu ku habiskan di tempat ini, mulai pagi hingga sore membaca realitas di bawah naungan rumah merah. Orang-orang berkata bahwa menjadi tenaga pendidik adalah profesi yang berat, namun sungguh ini adalah pekerjaan yang sangat hebat dan begitu menguntungkan. Di samping menjadi pendidik, juga aku merasa dididik oleh siswa-siswi sendiri. Mengajar sambil belajar dari banyak kepala yang ditemui adalah salah satu kenikmatan menjadi guru. Bukan satu dua kali aku terenyuh, mengambil jeda sesaat untuk merenung dan berdialog dengan sendiri.
Dulu, aku tidak pernah bercita-cita menjadi seorang guru. Dulu, aku tidak menyukai dunia anak-anak yang sejatinya bertolak belakang dengan karakterku. Dulu, aku sempat skeptis ditempatkan sebagai kepala sekolah di unit ini. Dulu, aku sempat menangis dan berupaya untuk memberanikan diri menjadi bagian dari unit ini. Namun hari ini, semua ketakutan dan keraguan itu berubah menjadi kenyamanan. Dari anak-anak itu aku melihat kepolosan, mereka banyak mengajarkan arti kesabaran dan rasa syukur. Dari guru-guru, aku melihat ketulusan, mereka mengajarkan arti tanggungjawab dan keikhlasan. Allah memberikan lebih banyak dari itu, aku memperoleh pelajaran berarti tentang kepemimpinan, kebersamaan, kekompakan, dan juga solidaritas.
Di tempat ini, anak-anak yang ditemui tidak hanya cerdas, tapi juga kreatif, imajinatif, dan beberapa sangat spesial sehingga tidak hanya menumbuhkan decak kagum melainkan juga rasa syukur. Di balik merahnya bangunan ini, ada tenaga pendidik yang kobaran semangatnya tak kunjung padam, ide dan tenaganya tak pernah habis untuk memikirkan banyak kepala yang menjadi tanggung jawabnya. Di sini, aku merasakan betul-betul bernaung di bawah kelembutan dan kebijaksanaan seorang pimpinan yayasan, melalui keteduhan tutur dan wajahnya, melalui sikapnya yang ramah dan egaliter itu menyemburkan kedamaian yang membuat kakiku terpaku, enggan beranjak.
Kelak, akan banyak hal yang menjadi cerita, akan banyak memori yang menjadi bagian dari perubahan karakter yang mereka miliki. Aku menganggap mereka “rumah” tempat pulang dan berteduh, tempat aman dan nyamanku. SDIT Makassar Islamic School Baruga, sebuah instansi pendidikan yang begitu luar biasa mengusung program dan kegiatan tanpa bentuk diskriminatif terhadap siapapun. Setiap gagasan yang diusung sebisa mungkin mengisyaratkan bahwa setiap jiwa memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk belajar, untuk tumbuh dan mengeksplorasi diri.
(Ditulis di ruang kerja kepsek SDIT MIS Baruga, di tengah derasnya hujan yang menikam bumi, disertai kilat dan gelegar petir; Makassar, 10 Oktober 2022 pukul 16.35 WITA)
By:
AUW