Minggu, 10 Desember 2023

Self Discovery - Upayaku Menerima Diri #1

Apa kamu pernah merasa tidak berharga? Apa kamu pernah merasa tidak percaya diri karena statement orang-orang terdekat? Bagaimana kamu membangunnya kembali? Apa itu membuat kamu terkungkung dalam kesedihan dan kekecewaan, lalu memendamnya sendiri? 
Maaf, karena tulisan ini dibuka dengan pertanyaan sensitif, pertanyaan yang mungkin akan memancing memori-memori kelam. 

Aku seorang anak perempuan yang tumbuh dengan penuh kehati-hatian, perasaan was-was, dan bahkan rasa takut.  Sebagai anak sulung, aku memikul beban mental yang cukup besar untuk memenuhi ekspektasi orang banyak. Mungkin pada bagian ini, aku akan memulainya dengan drama masa kecil. Aku lahir di tengah lingkup yang cukup kental dalam mempertahankan tradisi keluarga, di samping paham darah biru yang masih tertancap kuat bagi keluargaku. Sehingga bentuk relasi yang otoriter (jauh dari sikap egaliter), yang dibalut budaya patriarki akut menjadi bagian dari pertumbuhanku. Aku sangat mencintai keluargaku: Ayah, ibu, dan saudara-saudaraku. Mereka tidak pernah lepas dari doa-doaku, namun sebagai bagian dari refleksi kehidupan, aku perlu menulis hal-hal yang pernah aku lalui. Bukankah setiap konsultasi dan berobat ke dokter, pasien juga perlu menyebutkan gejala dan mencari tahu apa penyebabnya? Setelah ini, aku juga akan berbagi caraku membalut luka. 
Jadi ....
Layaknya anak sulung yang lain, aku juga memperoleh bonus yang tidak semua bisa dirasakan oleh ketiga adikku, di antara bonus itu adalah: 1) Aku merasakan masa sulit orangtuaku dalam membangun finansial. İkut Ayah ke sana kemari, dari rumah ke rumah untuk memperbaiki parabola, TV, atau benda elektronik orang lainnya yang rusak. Aku akan menunggu hingga perkejaan Ayah selesai, kadang hingga larut malam dan beberapa kali diterpa hujan deras juga kasarnya angin Barat. Dengan motor RX King-nya, aku dibonceng dan diikat dengan karet ban agar tidak terjatuh saat tertidur. Usia 6 tahunan aku menjual buah jambu, es lilin, es pepaya, dan jenis es lainnya hasil buatan İbu yang aku jajakan di sekolah. Saat itu aku jual dengan harga 50 rupiah; (2) Bonus kedua adalah merasakan amarah, pukulan, cambukan, maupun cubitan pedas dari Ayah dan İbu. Masih menjadi bahan perenunganku, mengapa regulasi emosi orangtuaku saat itu berbeda kepada anak-anak mereka berikutnya. Jangan tanyakan lagi seberapa sering dan seberapa hebatnya benda-benda yang mendarat di tubuhku. Aku pernah tidak bisa berjalan setelah dihantam sapu ijuk dan kayu pagar hingga patah terbelah dua; 3) Bonus berikutnya, kerap disalahkan karena ada adik yang harus didahulukan, divalidasi perasaannya, dan diberikan contoh terbaik. Aku sering bertanya-tanya, mengapa aku tidak diberi ruang untuk menyampaikan ketidaknyamananku, menyuarakan perasaanku, atau mengutarakan keluh kesahku? Namun ibu begitu welcome mendengar pilihan adik-adikku, dan memvalidasi perasaannya; 4) Kerap dibandingkan. Perilaku ini sangat sering terjadi padaku sejak kecil. İbu selalu membandingkan aku dengan anak sepupunya, anak tetangga, anak temannya, dan dengan adikku sendiri. Poin ini paling sakit sih, jauh lebih sakit dari ikat pinggang Ayah yang menghantam kulitku; 5) Tidak adanya trust (kepercayaan). Aku sejak kecil dituntut untuk belajar dan belajar, bahkan pada beberapa kesempatan Ayah tidak ingin menandatangani raporku jika tidak ranking satu. Sejak kecil Ayah mendorongku mengikuti berbagai kompetisi, namun di lain sisi Ibu tidak mensupport secara mental. Setiap kali aku mengikuti lomba, Ibu selalu pesimis dan menganggap enteng kemampuanku.Ayahku berekspektasi tinggi pada kecerdasan kognitif, dan ibuku sendiri tidak percaya pada potensiku. Ditambah lagi dengan ketidakpercayaan mereka saat aku mencoba mengekplore diri pada berbagai kegiatan ekskul, terkadang aku harus berpura-pura izin keluar kerja kelompok hanya untuk mengikuti ekskul pengembangan minat dan bakat. Padahal kecerdasan bukan hanya cerdas kognitif. Betapa dilemanya anak perempuan ini. 

Di atas hanya beberapa perasaan yang muncul saat itu, drama-drama masa kecil yang kupikir cukup berada di masa itu. Tapi ternyata aku salah, apa yang ada di masa kecil justru seperti kaset yang terputar. Ya, semua kerap terulang dalam kehidupan remaja hingga kehidupanku di usia dewasa. Hingga hari ini, aku belum bisa menceritakan apapun yang aku rasakan kepada orangtua. Setiap memiliki permasalahan, perasaan yang berkecamuk, atau sekadar bertukar pikiran saja aku tidak berani. Seperti ada jarak yang begitu jauh antara aku dan mereka. Meskipun hati kecilku yang lain sangat ingin selalu dekat dengan mereka. 
Saat pertama kali membaca kalimat "Orang terbaik untuk ditemani curhat adalah ibu", aku gemetar, membacanya membuatku serba salah. Hingga hari ini, aku merasa bahwa semua itu adalah luka yang perlu aku sembuhkan. 

Perlahan aku belajar mengelola perasaanku sendiri. Aku terbiasa memendam masalah sendiri, merasa kesepian dan menangis diam-diam, hingga akhirnya aku menggunakan tulisan sebagai upaya menyalurkan energi. Orang-orang mengatakan "Kamu sangat kuat, kamu mandiri, kamu hebat," aku amin-kan. Itu adalah cita-citaku sejak dulu, menjadi anak perempuan yang kuat dan mandiri. Ya, sejak aku suka menangis dan membalut luka sendiri, rasanya aku hanya butuh menjadi kuat. Aku tidak ingin lagi meminta bahu tempat bersandar, meminta orang yang mau mendengarkan, meminta hati yang lain untuk berempati. Rasanya bukan itu lagi !! 
Hingga suatu hari, Tuhan lagi-lagi membantuku dengan mempertemukan aku sebuah tulisan yang sangat ku butuhkan. Dari sana aku diantar untuk mengenal inner work / self discovery. Aku mulai melakukan refleksi pribadi atas semua hal yang terjadi di hidupku, sebagai upaya untuk mengenal diriku lebih dulu. Aku mulai menelaah satu persatu setiap poin yang menyakitkan maupun menyenangkan. Aku jadi lebih tahu dan lebih menerima apa kekuranganku. Beberapa pertanyaanku juga mulai terjawab. Peristiwa-peristiwa masa lalu memberiku gambaran bahwa anak perempuan yang dulunya tidak pernah didengarkan, tidak mendapatkan support, tidak memperoleh apresiasi pada akhirnya sangat butuh "affirmation" ketika dewasa. Anak perempuan sulung yang dihantui ketakutan dan was-was itu juga tanpa sadar menjadi people pleaser. Anak perempuan yang kerap dibandingkan dan tidak memperoleh kepercayaan itu tumbuh dengan mental perfeksionis yang sangat keras terhadap dirinya. Ia memiliki ambisi dan semangat yang cukup tinggi dalam menggapai sesuatu, meskipun itu juga kurang baik untuk dirinya sendiri. Anak perempuan yang kerap dikerasi itu pada akhirnya benar-benar keras terhadap pendiriannya. Namun semandiri dan sekuat apapun dirinya sekarang, ia tetaplah anak perempuan yang kesepian, butuh kasih sayang, butuh kelembutan, butuh kedamaian. 

Aku seperti berdiri di depan cermin, menatap dalam kedua netraku, tenggelam bersama semua kenyataan yang harus aku terima. Masih begitu banyak kekurangan dalam diriku, yang pada akhirnya aku akui dan aku hidup dengannya. Hari itu, aku memeluk diriku sendiri, sangat erat, sembari mengelus-elus kedua bahuku. Nafasku begitu dalam berembus, aku cukup lega atas semua penerimaan yang aku lakukan terhadap diriku, terhadap hidupku. Tapi, ini tetaplah proses, bukan sebuah tujuan akhir. Self discovery hanyalah sebuah proses. Selanjutnya, aku akan bercerita lebih banyak lagi. 

#AUW