Selasa, 14 April 2020

Review Buku Budaya dan Masyarakat

Review Buku Budaya dan Masyarakat
Pereview:  Andi Ulfa Wulandari
Penulis Buku : Kuntowijoyo
Penerbit : TW Publisher (Tiara Wacana)

Sebuah buku yang ditulis oleh Kuntowijoyo, seorang berdarah Jawa, tentunya praduga saya ini berangkat dari akhiran nama beliau “o” yang sering kali digunakan dalam pemberian nama pada anak-anak yang lahir dari etnis Jawa. Saya akui pemikiran penulis dan tata cara penyampaiannya yang runtut lagi jelas, buku cukup enak dijadikan kawan bersantai.  Buku ini terdiri atas empat bagian yang mpada maisng-masing bagian terbagi-bagi lagi. Melalui buku ini penulis menyampaikan bahwa telah terjadi proses simbolis pada masa lampau bahkan masa kini (masa ketika dia menuliskan buku ini). Lalu, bagaimana dengan masa yang tengah kami jalani sekarang? 
Sebelum membahas itu, saya hendak membedah lebih dulu hal-hal urgen yang penulis katakan di dalam bukunya. Menurutnya, kebudayaan bisa menjadi tidak fungsional bilaman simbol dan norma tidak lagi didukung oleh lembaga-lembaga sosial. Kontradiksi budaya bisa saja terjadi sehingga dapat melumpuhkan dasar-dasar sosial, dna kontradiksi budaya juga bisa terjadi karena adanya kekuatan-kekuatan budaya yang bertentangan di dalam masyarakat. Penulis beranggapan bahwa peranan kaum inteletual sangat penting di sini, karena kaum intelektuallah yang berada pada posisi terdepan dalam pembentukan pengetahuan di masyarakat. 
Tak luput penulis menyinggung tentang budaya spiritual, yang mana menurutnya bahwa organisasi massa yang menampung banyak anggota menjadi bagian dari perkembangan kesalehan simbolis kebudayaan spiritual. Saya terus terngiang pada istilah zaman “edan” yang disematkan oleh Ranggawarsita, pasalnya zaman gila itu tidak hanya terjadi di masa beliau, tetapi juga di masa kami sekarang. Mungkin lebih tepat jika saya katakan bahwa zaman Ranggawarsita adalah cikal bakal dari kegilaan zaman sekarang. Mungkin jika yang menulis buku serupa adalah orag Bugis, maka akan dikatakan zaman “tojangeng”. 
Sejarah mencatat bahwa di negara ini pernah diisi oleh dualisme kebudayaaan. Dan di saat birokrasi kolonial semakin meluas, muncul satu golongan baru yang dinamakan golongan priyayi. Bnetuk-bentuk perubahan sosial terus terjadi seiring bergulirnya waktu, hingga muncul golongan kelas menengah yang terdiri atas golongan intelektual, pengusaha, dan para pedagang. Awalnya mereka-mereka ini memang hanya menjadikan ekonomi sebagai pusat fokus mereka, tetapi lambat laun juga mereka menjadi pendukung kebudayaan baru. Dan para golongan kelas menengah ini tidak hanya berasal dari Tanah Jawa, karena dualisme budaya di luar Jawa telah diperantarai oleh enkulturasi dari kebudayaan Islam. Untuk itu, mungkin yang menjadi salah satu persepsi dari penulis bahwa ada baiknya jika kampung-kampung semakin jauh dari pusat kota, karena terpeliharanya budaya daerah dan tradisional mereka. 
Rasaya ingin saya membetulkan hampir semua apa yang penulis katakan, terutama persoalan realita Indonesia dewasa ini. Modernitas telah mengubah setiap sendi kehidupan masyarakat, semua serba ter-manage sesuai standar yang telah ditentukan. Birokrasi dikatakan menjadi bagian yang penting dari modernitas itu sendiir, bahkan sellau kita temukan birokrasi di setiap sudut kehidupan sosial di negeri ini. Di sekolah-sekolah, kampus-kampus, perusahaan, kantor lurah, bahkan dalam politik yang berwujud partai itu. Penulis sendiri menyadari bahwa budaya Jawa terancam tenggelam dalam proses modernisasi ini, padahal jangankan budaya Jawa, di luar Jawa pun (katakanlah suku Bugis di Sulawesi) mulai timbul tenggelam. 

Entah apa yang menjadi motivasi terbesar penulis dalam mengaitkan Islaam, Jawa, dan Indonesia di dalam buku ini, akan tetapi saya mencoba menerka bahwa kemungkinan Islam dijadikan suatu objek karena merupakan agama dengan penganut terbanyak di negara ini. Termasuk yang menarik adalah pembahasan mengenai masjid dan pasar, yang mana kedua tempat ini pernah disinggung dalam hadis Nabi Saw., tetapi keduanya merupakan bukti simbolik dari dua kebudayaan, yaitu budaya Islam dan budaya Barat, karena merekalah yang lebih banyak menghasilkan contoh dari kekuatan pasar. Kurang lebih begitu yang saya pahami. 
Perubahan sosial yang melibatkan tata sosial dan nilai-nilai telah berhasil mengubah gambaran masyarakat tradisional menjadi masyarakat kolonial, demikian yang penulis simpulkan. Sedangkan perubahan-perubahan sosial dan ekonomi membawa serta perubahan terhadap budaya. Saya pribadi memandang bahwa meski budaya tradisional tidak sepenuhnya lenyap, tetapi telah mengalami pergeseran yang bahkan cukup signifikan, dan juga berdampak pada behaviour (keperibadian) seseorang. Kalau kita bandingkan kondisi sekarang dengan kondisi yang dideskripsikan si penulis di dalam bukunya, maka juah lebih hebat perubahan yang terjadi di masa sekarang. Tentu, karena sudah beberapa dekade berlalu.
Industrialisasi awal telah mengguncangkan kehidupan masyarakat dan kebudayaan, meski di lain sisi tak dapat dipungkiri bahwa dengan modernitas ini juga memberikan dampak positif terutama bagi mereka kaum rebahan yang ingin segalanya serba “wah”, serba canggih. Dan kaum ini juga merupakan hasil pembentukan dari modernitas. 

Di dalam sastra menurut penulis, untuk memutuskan suatu zaman dan munculnya zaman baru adalah dnegan mengukuhkan prosa sebagai warna dominan dalam gerakan baru tersebut. Nah, di sini kemudian disinggung juga bahwa pengarang yang mendukung karya sastra didominasi oleh guru-guru. Bukan hanya dalam sastra, ternyata pergulatan antara budaya tinggi dengan budaya massa juga terjadi dalam dunia layar kaca atau perfilman. Fakta bahwa mereka yang telah bekerja keras membuat film yang bermutu pada akhirnya harus kalah oleh mereka yang membuat film dnegan menyesuaikan selera massa. Meskipun begitu, massa yang memiliki peranan besra dalam membentuk selera kesenian tidak sellau berarti kesenian populer mmeiliki kecenderungan dekaden atau merosot.
Tetap saja, bagi saya karya yang lahir demi memuaskan hari orang lain adalah bentuk kebohongan terbesar dalam sebuah seni, dan dengan sendirinya budaya seni mulai menipis melalui ketidakjujuran ini. Dengan begitu saya setuju terhadap statemen penulis ketika membahas persoalan kesalehan simbolis dan kesalehan aktual, yang seharusnya kita saksikan harusnya sanggup membebaskan manusia, tidak hanya mengensipasikan manusia secara spiritual. Karena hanya kesalehan yang memiliki cita-cita pembebasan struktural yang mampu membawa masyarakat pada keutuhan zaman industrialisasi, urbanisasi, dan teknologisasi layaknya sekarang ini. 
Rupanya, westernisasi dan islamisasi mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat, dan berhasil mengubah pola hidup kita bahkan menjadi kecanduan. Kemunculan pers nasional, orkes keroncong maupun arsitektur-arsitektur baru menunjukkan adanya sebuah sikap baru yang terbebas dari tradisi. Kemudian jika kita tarik ke zaman yang serba canggih ini, di era generasi Z dan Y, dimana budaya seperti sesuatu yang dianggap kolot dan terbelakang. Beberapa pihak yang mengaku sebagai manusia modern terlihat lebih bangga dengan produk-produk yang dihasilkan budaya Barat dibanding budaya lokal sendiri. 
Buku ini bagi penulis seperti santapan lezat, sangat cocok untuk dibaca oleh kaula muda, terlebih pada bagian ketiga yang membahas mengenai perbenturan nilai dalam proses perubahan sosial. Era sekarang dunia pendidikan semakin semarak, tidak sulit lagi untuk menjadi sarjana, apalagi lulusan SLTU. Tetapi karena sistem modernitas yang dipenuhi persoalan birokrasi membuat ijazah biasanya hanya menjadi pajangan di almari. Karena untuk masuk di suatu perusahaan, perkantoran atau instansi lain, seseorang dituntut dengan berbagai macam ketentuan birokasi yang runyam, tak jarang diopor ke sana ke mari layaknya bola pimpong. Semakin modern, manusia akan semakin berpikir instan, dan perlahan menepis budayanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar