Sabtu, 29 Maret 2025

Ramadan#30 : Pulang


"Kembali pulang ...." Lagu yang dipopulerkan tahun 2023 oleh Feby Putri dan Suara Kayu ini mengajak kita pada kesadaran murni bahwa sejauh apapun perjalanan kita di dunia, sedalam apapun suka maupun luka yang kita rasakan, kita akan selalu mencari jalan pulang. Dalam kehidupan normal sehari-hari, kita kerap mengidentikkan kata "kembali/pulang" dengan rumah. Setelah segala huru-hara di luar sana, kita selalu merindukan pulang. Namun hakikatnya, manusia sebagai ciptaan memang didesain untuk kembali kepada Penciptanya, entah dalam hal ini kembali ke jalan yang diridhai Allah, atau kembali dalam makna yang lebih transendental: kembali ke sisi-Nya. Dalam Al-Qur'an tepatnya surah Al-Fajr, Allah mengucapkan kata kembali, "... ارجعي إلى ربك..."  yang berarti pulanglah ke sisi Rabb-mu. Pada 30 Ramadan dan 1 Syawal, kita sering mendapatkan ucapan selamat hari raya dan semoga kembali fitrah. Yang dimaksud sebenarnya adalah harapan agar Ramadan yang dijalani selama 30 hari benar-benar menjadi jalan untuk kita kembali pada fitrah sebagai makhluk (ciptaan). Kembali fitrah semata-mata juga bukan bermakna kembali suci sebagaimana anak yang baru lahir. Karena irasional jika kita ingin kembali sesuci bayi yang baru lahir, tidak ada seorang pun yang ma'shum (terbebas dari kesalahan) selain Rasulullah Saw. Namun kita perlu memaknai bahwa kembali fitrah adalah term yang yang menunjukkan betapa fitrah manusia itu adalah memperbaiki apa yang perlu diperbaki, dan meminta maaf serta meminta pengampunan setiap kali salah. 

Judul tulisan ini merupakan ide yang tiba-tiba muncul mengingat sebentar lagi Ramadan akan pamit dan Idul Fitri aka bersambut. Alasan kedua, terlintas ucapan seorang kawan pada sebuah bincang santai, setelah beberapa tahun kami baru berjumpa dan hari itu kami terlibat obrolan yang berat hingga sedikit bertukar keresahan tentang problematika kehidupan. 
"Pulang, yuk!!" Ucapnya sambil senyum. Lalu, melanjutkan ....
"Kalau kita lagi merasakan hidup ini berat banget, sampai rasanya udah babak belur dihantam dari segala arah, sebenarnya itu kode. Kalau capek, ayo pulang." 

Aku tidak berkomentar apa-apa, hanya menatap lamat-lamat, seperti tak berselera mengeluarkan kalimat apapun saat itu. Aku membiarkannya bercerita. 

"Pernah gak pas lagi capek-capeknya dengan hiruk pikuk dunia, pikiran kacau ke sana kemari, tiba-tiba kepikiran kalau ini apa yang salah ya? Apa ada yang perlu aku perbaiki yang mungkin gak sesuai dengan fitrahku sebagai hamba. Kita mungkin lagi gak salah jalan, tapi jalannya kejauhan aja, jadinya capek." Demikian telingaku siap mendengarkan apapun, tanpa menjustifikasi omongannya, tanpa baper dengan yang disampaikannya, karena aku meyakini bahwa kawan yang baik tidak akan menjatuhkan kita, mereka hanya ingin membersamai kita. Dan kawan yang santun juga akan menyampaikan tanpa melukai, tanpa menyalahkan, tanpa merasa paling baik.

Analogi itu seakan menggambarkan bagaimana kita berkelana di dunia, mencari jati diri ke sana kemari, mencari kesenangan dari satu tempat ke tempat yang lain, namun secara naluriah kita akan selalu membutuhkan pulang. Beruntungnya jika dalam perjalanan menuju pulang itu kita ditemani pendar cahaya yang mampu menuntun, agar jalan terlihat lebih jelas dan terang. 

Aku mencoba memaknai kata "pulang" sebagai bentuk lain dari pencerahan, yang merupakan tujuan utama dari seorang hamba. Kehidupan menjadi misteri, sehingga kita dituntut untuk menemukan jawaban dan kembali / pulang karena awal dan akhir kita sama saja: From God to God. Kita semua hidup dalam ilusi, sehingga perlu gebrakan untuk keluar dari kegelapan maya, sehingga pencerahan menjadi sangat penting. Dalam buku The Questions You Must Answer Before You Die, dikatakan bahwa manusia memiliki pengetahuan tentang kebenaran tapi belum tercerahkan karena terhijab oleh ego, tubuh, dan pikiran. Orang yang memiliki pengetahuan belum terbebas dan belum tercerahkan hingga dia memenangkan peperangan atas egonya. 

Ego inilah yang membuat kita enggan pulang, meski sebenarnya jiwa kita sudah merasa lelah. Kita sering luput bahwa kita memang punya tubuh, tapi kita bukan tubuh itu. Kita punya pikiran tapi kita bukan pikiran.

Setiap cobaan yang kita hadapi adalah bagian dari proses penghapusan dosa dan penguatan iman. Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang berusaha untuk kembali ke jalan-Nya. Setiap langkah kita menuju kebaikan akan dicatat dan dihargai, setiap penyesalan akan diampuni. Kita hanya perlu sungguh-sungguh datang kepada-Nya dengan hati yang tulus. Setiap detik yang kita habiskan untuk merenung, berdoa, dan bertawakkal kepada Allah adalah investasi yang tidak ternilai. 

Jalan pulang menuju Ilahi adalah jalan menuju kebahagiaan sejati. Setiap langkah kita, sekecil apapun akan sangat bernilai bagi-Nya. Semoga jiwa kita senantiasa menemukan ketenangan, keindahan, dan cinta yang abadi.

تقبل الله منا ومنكم 
Selamat menyambut hari Raya Idul Fitri, kembali kepada fitrah sebagai hamba: fitrah beragama dan fitrah mencintai. 

Salam hangat,
AUW






Ramadan#29 : Warisan


"Jangan berharap warisan berupa harta, kami tidak bisa menjanjikan itu. Kami hanya dapat mewariskan ilmu ...." Ucapan ayahku tiga belas tahun silam, yang terus membekas sampai hari ini. Saat itu aku belum paham dan menganggap ucapan itu seperti angin lalu, hingga akhirnya perjalanan hidup membawaku pada pemahaman bahwa ilmu benar-benar menjadi warisan terbaik yang tidak pernah lekang oleh waktu, dan mampu mengubah kehidupan seseorang. Baik Ayah maupun Ibu tidak pernah memaksaku untuk menyukai buku, tidak juga ada tuntutan untuk suka membaca. Namun sejak kecil, aku terbiasa melihat deretan buku di rumah. Kebiasaan melihat inilah yang membuatku terkadang iseng mengambil atau membuka buku-buku yang isinya belum aku mengerti. Hingga akhirnya menemukan satu buku yang mengasyikkan, dari sanalah bibit kecintaan itu tumbuh. Sampai detik ini aku masih menganggap buku sebagai aset istimewa, dan ilmu sebagai warisan yang mahal. Aku mengamati bahwa perlu kultur dan lingkungan yang mendukung untuk menghidupkan ruang-ruang keilmuan itu.

Tak salah jika para tokoh dan ilmuwan baik di Timur maupun Barat memiliki pandangan istimewa tentang ilmu, terutama di kalangan para pemikir Muslim. Misalnya Ali bin Abi Thalib dengan petuah indahnya yang masyhur bahwa ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu mampu melindungi pemiliknya, sementara harta justru harus dilindungi. Ilmu sebagai warisan memiliki ruang lingkup yang luas. Ada orangtua yang mengajarkan pada anaknya tentang ilmu bertahan hidup, dengan memperkenalkan anak-anak sejak kecil pada perjuangan dan kerja keras. Ada orangtua yang mengajarkan ilmu kebal dan kedisiplinan pada anaknya, dengan memberikan didikan yang tegas sejak kecil. Ada yang mewariskan ilmu resep kue, resep makanan tradisional, resep obat, dsb. 

Aku mulai memahami lebih jauh mengapa Rasulullah mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah. Dalam Islam, ilmu tidak sekadar warisan berharga, namun juga dianggap sebagai cahaya yang dapat menerangi jalan hidup manusia. Bahkan dikatakan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu beberapa derajat, baik di dunia maupun di akhirat. 

Kita mungkin kerap mendengar orangtua berkata, "Tidak usah dipikirkan soal biaya sekolah/kuliah. Belajar saja, menuntut ilmu baik-baik." Ternyata kalimat ini tidak hanya sekadar penghibur bagi anak-anak yang sedang berjuang untuk menuntut ilmu, namun juga sebuah keyakinan di dasar hati orangtua bahwa akan ada rezeki yang mengalir untuk para penuntut ilmu, karena Allah yang memudahkan jalannya. 

Ilmu sangat berkontribusi penting dalam pengembangan individu maupun masyarakat. Orang yang berilmu dan terdidik akan lebih mampu menangani problematika, menghadapi tantangan, permasalahan sosial, ekonomi, maupun politik. Perlu digarisbawahi bahwa menurut Islam, ilmu tidak hanya sebatas pengetahuan ilmiah, bukan hanya pengetahuan fisik, tapi juga tentang etika. 

Saat ini kita bisa memilih akan menjadi orangtua yang seperti apa untuk generasi kita. Kita bisa menentukan warisan apa yang ingin kita tinggalkan. Kembali aku ingin mengutip 3M ala KH. Abdullah Gymnastiar alias AA Gym: Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, dan mulai dari sekarang. Konon, untuk memperbaiki generasi dan masa depan bangsa, tidak cukup dengan banyak berkoar di podium atau melakukan orasi di pemerintahan. Tapi kita perlu memulainya dari organisasi terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. 

AUW



Jumat, 28 Maret 2025

Ramadan#28 : Pesan-pesan


Setiap yang tercipta hadir dengan membawa pesan, baik tersurat maupun yang tersirat. Pesan tidak sebatas obrolan chat di WhatsApp, Direct Messages, Messenger, surat, dsb. Pesan juga bukan hanya nasehat dari mulut ke mulut. Lebih luas daripada itu, pesan dapat ditemukan melalui benda-benda di sekitar kita yang memberikan pelajaran bagi kita jika dapat mengasah kepekaan. Untuk menangkap pesan-pesan semesta, diperlukan sensitivitas karena benda-benda mungkin tidak berbicara tapi mampu mengajarkan banyak hal. Kita hanya perlu melatih intuisi, agar dapat menangkap pesan dengan bijak. 

Ambil jeda dan bercengkerama dengan semesta. Mengeja setiap ayat/tanda untuk menemukan pesan-pesan. Semesta pun turut berpesan. Segala yang ada di alam menjadi media belajar terbaik, untuk memperoleh pengetahuan dan untuk mengenali lebih dalam lagi tentang siapa kita. Mungkin kita bisa mengambil pesan dari hal-hal berikut. 

✓ Cermin, benda ini seakan berpesan bahwa sebelum orang lain berkomentar banyak tentang kita, kita perlu bercermin terlebih dahulu untuk merefleksikan diri, agar dapat meminimalisir hal-hal yang kurang berkenan yang ada dalam diri kita. Kita perlu berdialog dengan diri sendiri terlebih dahulu, memerhatikan apakah secara lahir dan batin kita sudah siap berinteraksi dengan orang lebih jauh lagi atau kita perlu berbenah diri. 

✓ Pohon. Bahkan pepohonan pun menjadi guru yang mampu mengajak kita untuk lebih reflektif dan kontemplatif. Kita sering kali memiliki rasa kemelekatan yang tinggi, menganggap bahwa selamanya akan tetap seperti itu. Rupanya perlu waktu untuk menghayati cara kerja Semesta. Banyak hal yang perlu "maintenance and repair", bukan hanya benda-benda elektronik kesayangan di rumah, tapi lebih dari itu kita perlu melakukannya untuk diri sendiri, dan relasi dengan siapapun apalagi orang-orang terdekat yang selalu bersama kita. Jika upaya maintenance itu tidak berbuah dengan baik, kita perlu melapangkan hati untuk melepaskan apa yang harusnya dilepas. Melepaskan memiliki ragam makna; terlepas secara ikatan, terlepas secara emosional, terlepas secara identitas, dll. Namun yang paling penting untuk dipahami dari seluruh perjalanan hidup ini adalah bahwa kita tidak benar-benar memiliki apa-apa. Sehingga perlu untuk belajar melepaskan sebagaimana kita belajar menerima. Semuanya akan bekerja sesuai kapasitasnya. Jika harus layu lalu tumbuh kembali, atau gugur lalu rimbun kembali; tak mengapa. Terkadang kita harus memilih re-start untuk menyegarkan kembali. 

✓ Air dalam bejana. Untuk memperoleh air yang jernih, terkadang kita perlu memberi waktu sejenak hingga kotoran air terkumpul di dasar bejana. Kita hanya perlu bersabar beberapa saat agar kotoran tidak tercampur dengan riaknya. Seolah-olah berpesan pada kita, bahwa emosi itu seperti riak dalam bejana, kita perlu membiarkannya tenang dulu agar ketika mengambil keputusan berdasarkan kesadaran murni, tidak ternodai oleh kotoran-kotoran tadi. 

Tidak perlu sebuah email atau chatting-an di media sosial untuk mendeskripsikan “pesan”. Pesan tidak selalu harus berwujud teks agar dapat ditangkap dengan jelas dan jernih, juga tidak selalu berupa ungkapan nasehat dari lisan seseorang untuk bisa dimaknai sebagai pesan. Jika kita lebih peka, setiap harinya ada begitu banyak pesan-pesan Ilahi yang ingin disampaikan kepada kita, namun luput dari perhatian. Kita dapat mengamati fenomena yang timbul di sekeliling, terkadang jawaban yang kita butuhkan untuk permasalahan kita sebenarnya tidak jauh-jauh, hanya saja kita cenderung mengabaikan pesan-pesan itu.
 Ketika asik menonton sebuah film, nikmati film itu hingga selesai. Jangan biarkan satu film selesai begitu saja tanpa me-review pesan apa yang hendak disampaikan dari setiap adegan maupun dialog. Dalam sebuah film tahun 2011 yang diperankan oleh Jackie Chan, Nicholas Tse, dan Andy Lau, terdapat adegan berupa percakapan yang menarik antara Jackie Chan –yang saat itu berperan sebagai koki di Shaolin- dengan gurunya. 

Guru : “Hal terpenting dalam hidup ini ialah pengalaman dan belajar, aku telah mengatakan hal ini berkali-kali kepadamu. Tinggalkanlah kuil Shaolin dan pergi ke dunia luar.”
JC : “Guru, aku hanya tahu cara memasak, di luar sana aku tidak akan berharga. Aku tidak ingin pergi.” Jawab Jackie Chan dengan penuh keraguan
Guru : “Menurutmu, manakah yang lebih berguna antara sekeping emas dan setumpuk t anah?” 
JC : “Aku pikir sekeping emas.” 
Guru : “Bagaimana jika aku memberikanmu bibit tanaman? Sekarang, mana yang lebih berguna untuk bibit tanaman itu? Apakah sekeping emas ataukah setumpuk tanah?” 
 Pertanyaan-pertanyaan seperti ini hanyalah anologi, namun dari semua yang terhampar kita dapat memetik pesan. Setiap ciptaan diberkahi potensi masing-masing untuk bisa berkontribusi bagi kehidupan, bahkan setumpuk tanah pun yang menurut beberapa orang tidak jauh lebih berguna daripada sekeping emas, ternyata juga bermakna bagi sebibit tanaman. 

Alam semesta ini beserta isinya seluruhnya adalah hamparan ilmu dan pengetahuan. Tapi keduanya hanya bisa diraih oleh mereka yang membuka mata hati dan memberdayakan potensi akalnya. Berbahagialah jika kamu dapat belajar dari siapa pun, dari apapun dan dari ruang manapun yang terhampar di Universitas Kehidupan ini. 

Salam hangat, 
AUW


Kamis, 27 Maret 2025

Ramadan #27 : Rumah


Secara etimologi kita mengenal arti rumah sebagai sebuah bangunan untuk tempat tinggal, yang tersusun atas beberapa elemen seperti fondasi, lantai, dinding, atap, dan sebagainya. Mungkin kita cukup sering mendengar kalimat, "Home sick" atau rindu rumah dan ingin pulang. Tapi tak jarang juga kita temukan orang-orang yang justru tidak senang jika harus pulang ke rumah. Mereka yang selalu tertaut hatinya untuk kembali ke rumah, tentu karena menganggap bahwa rumah adalah tempat ternyaman untuk rehat dan mengisi ulang energi. Namu tidak bagi mereka yang justru merasa ingin kabur karena di dalam rumah energinya justru terkuras habis. Maka sebenarnya lebih dalam lagi, pemaknaan terhadap "rumah" tidak sebatas pada bangunan fisik semata, tetapi sebagai tempat pulang yang dapat memberikan rasa nyaman dan aman. 

Seseorang bisa nyaman dalam rumah yang sederhana karena kehangatan suasana yang terciptalah di dalamnya. Sebaliknya, seseorang dapat menderita dalam rumah yang mewah, karena tidak memperoleh ketenangan di dalamnya. Rumah tidak sebatas bangunan, rumah dapat berupa sosok manusia lainnya yang menjadi tempat pulang yang nyaman setelah bergelut dengan hiruk pikuk dunia yang memberatkan bahu. 

Jika kita amati, dari tiap-tiap elemen bangunan rumah, sebenarnya terdapat makna-makna filosofis yang apabila dipahami dengan baik maka sangat membantu untuk menciptakan keteraturan dalam hidup, seperti: 

✓ Fondasi, secara hakikat kita memaknai fondasi sebagai dasar yang menjadi simbol stabilitas. Saat ingin membangun rumah, fondasi menjadi elemen pertama dan harus benar-benar kokoh. Relevansinya dengan kehidupan manusia, bahwa kita memerlukan dasar yang kuat di awal, berupa keyakinan atau akidah yang ditancapkan lebih kuat lagi agar tidak goyah dalam menghadapi ragam persoalan. 

✓ Lantai, mencerminkan tempat di mana kaki kita berpijak dan mengayunkan langkah demi langkah untuk bisa mencapai tujuan. Maka jika dalam rumah kita tidak bisa menentukan arah karena tak mampu berpijak, di sanalah kebimbangan-kebimbangan mulai muncul.

✓ Atap, tiap rumah mulai dikatakan aman dari panas maupun hujan, jika ada atap yang memayungi. Atap memberikan perlindungan, dan secara filosofis juga menjadi penampungan impian dan harapan dari setiap penghuni di dalamnya. Atap ini berupa pemberian rasa aman dan melindungi tiap aspirasi orang-orang di dalamnya dari pengaruh eksternal. Dalam arti bahwa sebaik-baik rumah adalah tempat di mana kita dapat merasa damai dan memberikan keteduhan dalam kebersamaan. 

✓ Dinding, ini juga menjadi bagian yang kiranya perlu ada. Dinding dapat dimaknai sebagai boundaries atau batasan. Dengan memberikan batasan yang jelas, privasi tiap orang akan merasa lebih dihargai. Hal ini juga memungkinkan kita untuk lebih preventif terhadap gangguan dari luar. Kenyamanan tidak hanya soal kedekatan, keakraban, dan kebersamaan semata. Namun kenyamanan juga dapat terbentuk di atas pengertian dan sikap saling menghargai satu sama lain. 

Beberapa poin di atas adalah bentuk refleksi sehari-hari, melihat bagaimana kita memaknai sesuatu di luar diri dan menariknya ke dalam untuk bisa dipetik pelajaran. Sehingga rumah tidak sekadar simbol, namun makna. Kita perlu merasakan bahwa tujuan dari rumah bukan sekadar tempat badan kita tinggal, tidur, makan, dsb. Tapi kita ingin mental kita pun turut merasakan dukungan emosional dan spiritual, memiliki identitas dan kenangan, juga menjadi ruang aman dan nyaman untuk berinteraksi. 

Jika kamu telah memperoleh "sakinah" (kedamaian) itu di dalam rumah, sesungguhnya itu adalah sebuah kenikmatan yang besar. Jaga dan senantiasa mohon perlindungan dari-Nya, karena Dia sebaik-baik pemelihara. Jika belum memperoleh kedamaian di rumah, temukan kedamaian itu dalam dirimu terlebih dahulu. Tidak dengan mencarinya pada jalan-jalan yang potensial merugikanmu. Pun jika perlu bantuan pihak lain seperti bantuan profesional, tak ada salahnya melakukannya. Tapi aku selalu percaya, akan ada "rumah" yang akan benar-benar dapat menjadi tempat kamu pulang, di mana kamu dapat dengan aman dan nyaman untuk bercerita. Sekali lagi, rumah tidak sebatas pada bangunan fisik. Teman-teman yang baik, pasangan yang suportif, dan komunitas yang positif juga bentuk lain dari rumah. Kamu tidak sendiri. 

Salam hangat, 
AUW

Rabu, 26 Maret 2025

Ramadan#26 : Senandung Anak Rantau


Di bawah langit jingga aku terpaku 
Terlukis wajah Ayah-Ibu
Langkah tak pernah ragu
Walau bergelut dengan rindu
Senandung anak rantau 
Selalu merdu meski sendu 

Bahu berat di tanah orang 
Meski badai tetap diterjang 
Demi impian setinggi bintang 
Demi janji untuk pulang....

Kamu boleh pergi sejauh yang kamu mau, kamu boleh memilih masa depan apa yang ingin kamu inginkan. Namun, ada satu hal yang tak akan pernah luput, jejak-jejakmu di tanah kelahiran akan selalu membekas, menanti hadirmu dengan membawa gumpalan kisah haru penghadir selaksa bahagia. 

____

Bagi umat Muslim yang berada di rantau, momen-momen akhir Ramadan adalah momen hangat yang dinanti-nanti untuk pulang ke kampung halaman. Laut, darat, dan udara menjadi saksi atas kerinduan dan harapan para pemudik untuk berjumpa dengan keluarga terkasih. Selalu ada cerita menarik dari mereka yang berani mengambil keputusan hidup di tanah rantau, terlepas dari kesukaran yang dilalui. 

Baik secara personal maupun sosial, merantau memiliki keutamaan yang mungkin jarang kita sadari. Meskipun begitu, tinggal bersama orang-orang terkasih di kampung tentu menjadi dambaan juga, namun hidup tak selalu seperti yang kita inginkan. Kehidupan selalu memberikan pilihan-pilihan, tentukan pilihan itu sebelum pilihan itu yang menentukan hidup kita. Aku tergolong ke dalam mereka yang jauh dari keluarga. 

Terhitung tiga belas tahun tidak menetap bersama orangtua memberiku ragam pandangan tentang kehidupan. Diawali dengan niat menuntut ilmu hingga rela berpisah dengan keluarga, dan terus berlanjut hingga bekerja di tanah rantau. Pelajaran, kerinduan, kesedihan, ketegaran, dan impian seakan bercampur menjadi satu. Tentu bukan hanya aku, melalui perbincangan dengan teman-teman yang juga hidup di rantau, aku mencoba merangkum pelajaran penting yang akan aku bagikan di kolom ini. 

Sebelumnya aku ingin menyampaikan, bahwa tulisan ini tidak bermaksud untuk membandingkan dua kondisi tertentu, tapi berusaha mendeskripsikan beberapa hikmah dari kehidupan anak rantau. Tujuannya, pertama untuk menguatkan lagi bahu mereka yang memilih jalan tersebut mengingat banyak keutamaan yang dapat diperoleh. Kedua, untuk berbagi cerita kepada mereka yang tidak berada pada jalan itu. 

Setidaknya ada beberapa catatan penting yang aku anggap sebagai nilai plus dari perantauan, seperti: 
✓ Memberikan pengalaman hidup yang luar biasa dan perspektif yang luas. Merantau memberi kesempatan besar bagi kita untuk mempelajari hal-hal baru, beradaptasi dengan lingkungan dan budaya yang saja berbeda, yang mana hal ini dapat membantu kita untuk semakin bertumbuh. Berjumpa dengan ragam karakter, mempelajari banyak nilai dan banyak pandangan tentunya akan membentuk mindset kita semakin berkembang. 
✓ Lebih mandiri dan meningkatkan kedewasaan. Dengan merantau, seseorang seakan dipaksa untuk bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, atas pilihan-pilihannya, dan mengatasi tantangan di kampung orang. Mulai persoalan perut, tempat tinggal, mengatur keuangan, hingga persoalan lainnya. 
✓ Pendidikan dan skill. Banyak peluang belajar dan mengasah skill di tanah rantau, terlebih lagi jika tempat rantau itu merupakan kota besar. Mengikuti pelatihan, kajian, ruang-ruang belajar, meningkatkan hard skill maupun soft skill yang mungkin saja harus dicoba untuk bisa survive/bertahan hidup. 
✓ Jaringan yang luas. Tentu bagi perantau, lingkup pertemanan adalah salah satu penunjuang kesuksesan. Ketika jauh dari keluarga, kita perlu memperluas jejaring sosial untuk dapat memperoleh informasi maupun peluang-peluang keberuntungan. Biasanya, anak rantau tumbuh dengan jiwa humanis dan solidaritas yang tinggi. 
✓ Pertumbuhan Finansial. Kebanyakan orang-orang yang memilih untuk merantau dengan tujuan untuk mengubah nasib atau memperbaiki taraf kehidupan secara ekonomi dan strata sosial. Tentu berat hati memilih untuk jauh dari keluarga, namun ada cita-cita untuk membahagiakan orang-orang tercinta, mungkin dengan transferan yang masuk setiap bulannya cukup membantu meringankan beban keluarga di kampung. Sudah banyak kisah perantau yang sukses dan menjadi pembuka jalan bagi keluarga mereka dengan memberikan modal usaha. 
✓ Rasa syukur dan cinta yang lebih dalam. Jarak yang tercipta antara anak rantau dan keluarga selalu diiringi dengan kerinduan. Rindu ini menjadi motivasi untuk semakin semangat mencapai impian, karena ada tujuan yaitu pulang membawa kabar gembira. Dan setiap momen pulang ini, terdapat rasa cinta yang semakin dalam kepada keluarga, seakan ingin benar-benar memanfaatkan kebersamaan karena menyadari bahwa kesempatan pulang tidak datang tiap saat. Kita semakin menghargai kehadiran orang-orang sekitar, yang menumbuhkan rasa syukur di hati. 

Dari sekian banyak yang dialami seorang perantau, aku hanya ingin membagikan hal basic ini saja. Mengenai sakit, lelah, dan kesulitan yang dialami biarlah itu menjadi batu pijakan yang Allah catat sebagai bentuk perjuangan hamba-Nya untuk memperoleh hidup yang lebih baik. Jalan apapun yang kita pilih, pastikan menjadi kesempatan untuk belajar dan bertumbuh. Aku teringat pada pesan Imam asy-Syafi'i, "Merantaulah, aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir, akan menjadi jernih. Jika tidak, akan keruh menggenang." 

Selamat memintal rindu untuk diburaikan saat waktunya tiba. 

AUW



Selasa, 25 Maret 2025

Ramadan#25 : Bukti Hidupmu Lebih Berkualitas

Saat menulis ini, aku sedang tidak baik-baik saja. Kupikir setiap manusia memiliki masa up dan down dalam hidupnya, tidak selalu ada tawa sebagaimana tak selalu ada tangis. Bagi seorang penulis, kebahagiaan maupun rasa sakit sama saja mampu menjadi sumber ide, dan sebaik-baik ide adalah yang diikat dengan menjadikannya sebuah karya. Aku perlu menyampaikan terlebih dahulu bahwa judul tulisan ini aku comot dari memoriku tentang sebuah buku yang pernah aku beli tahun 2016 silam. Buku genre motivasi Islam yang berjudul Don't Cry Allah Loves You karya penulis produktif, Ahmad Rifa'i Rif'an. Selain karena gaya tulisannya yang aku sejak dulu, Mas Rifa'i juga memiliki nama yang sama dengan ayahku sehingga lebih mudah bagiku mengingatnya. 

Aku sempat termenung, memikirkan betapa kaya dan uniknya alam semesta dan manusia yang hidup di dalamnya. Sehingga ketika berjumpa manusia dengan karakter baik dan selalu menghargai yang lain, rasanya ingin memeluknya erat sembari mengucap syukur pada Tuhan. Karena pada ruang dan waktu yang lain, ada karakter manusia yang membuat bibir tak henti berucap istigfar serta menyisakkan sesak di dada. Di suatu tempat kita dihargai dan bernilai, namun di sisi yang lain ada tempat yang menganggap kita seperti tempat sampah yang bebas dilempari kotoran. 

Apakah kita tidak boleh menyesalkan pertemuan dengan orang-orang yang membawa energi buruk? Apakah kita perlu marah pada orang-orang yang mencemooh? Bagaimana cara kita sebaiknya menyikapi kritikan atau bahkan celaan dari orang lain yang mungkin sangat menyakitkan? 

Aku teringat pada tulisan Mas Rifa'i Rif'an, ketika ia mengutip sambutan Halle Berry pada sebuah event, "...Kamu tidak berhak dipuji kalau kamu tidak bisa menerima kritikan." Akan selalu ada yang tidak menyukai kita, sebaik dan sesukses apapun kita. Sejenak aku melakukan inner work, mencoba berdialog dengan diri sendiri, apakah aku membutuhkan komentar-komentar itu untuk pertumbuhanku atau tidak? Jika ternyata komentar itu perlu, maka aku ambil sebagai bahan pelajaran untuk lebih baik, dan jika tidak maka harus dipaksakan untuk pamit agar tidak mengganggu konsentrasi dalam meraih tujuan. Jika setiap hari disibukkan dengan menganggap orang yang tidak menyukai kita, lantas kapan kesempatan untuk menyusun kehidupan yang lebih baik? 

Kita mungkin tak asing lagi dengan pribahasa "Semakin pohon itu berbuah maka semakin banyak yang ingin melemparinya." Jika ditelusuri lebih dalam, relevansi kehidupan manusia dengan analogi tersebut sangat jelas. Semakin berkualitas hidup seseorang, semakin ramai komentar yang menyerang. Mungkin kita hanya fokus membenahi apa yang menjadi milik kita, menanam, memupuk, dan merawatnya tanpa ada niat untuk mengusik apa yang ada pada orang lain. Namun kita tidak dapat pungkiri bahwa ada banyak jenis hati di sekeliling kita. Ada hati yang sakit, yang mungkin saja tidak menyukai kebahagiaan kita, selalu merasa bahwa kita sebagai ancaman baginya meskipun kita sama sekali tidak pernah menganggapnya demikian. Hati yang sakit hanya perlu diobati, bukan untuk diladeni. 

Tuhan sengaja menghadirkan orang-orang yang "unik" itu dalam hidup kita, agar dalam perjalanan menuju kesuksesan menjadi lebih berwarna dan menantang. Kebanyakan orang-orang hebat hari ini adalah orang-orang yang bijak dalam menyikapi kritikan dan momen buruk dalam hidupnya. Dia melaluinya dengan persepsi bahwa celaan itu wujud lain dari motivasi, pembuktianlah yang akan membuat kualitas hidup kita semakin jelas, bukan dengan membalas keburukan itu dengan keburukan. 

Kuncinya seperti ini, jika ada orang yang selalu mencari-cari kesalahan orang lain; jika ada orang yang selalu mencela dan berkata kasar; jika ada yang selalu menghakimi tanpa mengadili; dan jika ada orang yang gemar bermasalah dengan siapapun, jangan menghabiskan banyak waktu untuk meladeninya. Karena sebenarnya dia butuh pertolongan untuk dirinya sendiri, agar sembuh dari luka dan penyakit hati yang bisa menyebabkan orang lain juga tercemar oleh lukanya. 

Aku berharap kita dapat menormalisasi ucapan-ucapan positif kepada siapapun, minimal berprinsip memanusiakan manusia, yaitu dengan memperlakukan manusia lainnya sebagaimana kita ingin diperlakukan. Jika tidak bisa membuat orang lain tersenyum, minimal kita tidak menggores luka di hatinya apalagi menjadi alasan dia bersedih. Karena akan sangat mendebarkan jika orang lain yang kita sakiti mengadu langsung pada Tuhannya. Sebagaimana yang disampaikan Baginda Nabi Saw., yang diriwayatkan oleh Muttafaq 'alaih bahwa, "Berhati-hatilah pada doa orang yang terzalimi, karena tak ada penghalang antara doanya dengan Allah." 

Semakin kita berproses untuk meningkatkan value, semakin besar pula ujian yang Tuhan sediakan. All is well in your world 

AUW 


Senin, 24 Maret 2025

Ramadan#24 : Malam Istimewa



Sejak kecil kita sering mendengar tentang keutamaan malam Lailatul Qadar, baik melalui ceramah-ceramah di atas mimbar ketika Ramadan maupun cerita-cerita orang dewasa. Dulu, aku pernah merinding ketika mendengar penuturan salah satu orang dewasa yang mengaku "didatangi" oleh Lailatul Qadar. Tahukah kamu apa yang aku pikirkan saat itu?

Gadis kecil yang menganggap bahwa Lailatul Qadar adalah sosok yang menyerupai manusia tapi bukan. Sehingga di benakku justru berpikir bahwa seseorang yang didatangi Lailatul Qadar akan merasakan suasana yang menyeramkan yang terkadang datang pukul dua dini hari, sebagaimana cerita orang-orang itu dahulu yang hinggap di kepalaku. 

Seiring bergulirnya waktu, pengetahuan juga turut bertambah. Memasuki masa remaja aku mulai memahami apa yang dimaksud sebagai malam Lailatul Qadar itu, dan mengapa imam masjid di kampungku selalu mengulang surah Al-Qadar setiap rakaat pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. Dulu, aku sempat berprasangka bahwa imam masjid itu mungkin hanya lancar menghafalkan beberapa surah saja, atau mungkin ingin membaca surah yang pendek saja. Apa di tempatmu juga sama? 

Baiklah, lupakan tentang bacaan imam. Setidaknya terdapat empat makna tentang al-qadar yang mungkin perlu kita singgung. Pertama, al-qadr adalah al-hukm atau penetapan. Dalam artian, malam al-qadr ini adalah malam penetapan Allah terhadap perjalanan hidup hamba-Nya selama satu tahun. Kedua, al-qadr diartikan sebagai kemuliaan, itulah yang juga kita sering dengar dalam QS.Al-Qadar tepatnya pada ayat pertama yang menyebutkan bahwa Al-Qur'an telah diturunkan pada malam yang mulia. Ketiga, al-qadar disebut sebagai pengaturan, di mana pengaturan yang dimaksud ketika Allah mengatur strategi bagi Nabi Muhammad agar dapat menyampaikan risalah bagi umat manusia pada malam di mana Al-Qur'an diturunkan. Keempat, al-qadar berarti sempit, artinya ketika malam itu seluruh malaikat turun ke bumi sehingga bumi menjadi sempit oleh keberadaan para makhluk utusan Allah. Pengetahuan ini aku peroleh melalui hasil bacaan dan apa yang aku dengarkan, salah satunya bersumber dari tokoh Muslim Indonesia, Quraish Shihab. 

Keempat pendapat tersebut tentu tidaklah mutlak kebenaran tafsirannya, karena yang menafsirkannya pun manusia. Namun kita sebagai umat yang datang belakangan, memiliki kebebasan untuk meyakini pendapat yang mana. Pengetahuan dasar yang aku yakini tentang Lailatul Qadar ketika kecil itu pada akhirnya terbantahkan. Karena setelah mempelajari, ternyata Lailatul Qadar merupakan suatu keadaan di mana seorang hamba merasakan ketenangan lahir-batin. Bukan sosok yang datang, juga bukan bentuk materi lainnya. Namun yang datang adalah suasana dan kondisi. 

Meskipun begitu, kita diberikan klue berupa tanda-tanda yang melibatkan alam, seperti ketika pagi harinya matahari terlihat tidak terik namun bercahaya indah keputih-putihan, hawa terasa sejuk, segala pepohonan dan tumbuh-tumbuhan seakan bersujud kepada Penciptanya, dan sebagainya. Karena ketika malam itu tiba, alam semesta dan seisinya bahkan seluruh penghuni langit turut bertasbih kepada Allah, turut berdoa serta memuji seluruh hamba yang bermunajat pada malam itu. Sehingga bagiku, tanda yang paling nyata yang dapat kita klaim adalah meningkatnya amal ibadah dan kebajikan oleh seseorang yang mendapatkannya, serta menyelinapnya kedamaian tiada Tara di hati orang tersebut bahkan boleh jadi bercucur air mata karena merasakan kehadiran Tuhan di sisi-Nya. 

Perlu kita pahami juga bahwa Lailatul Qadar bukanlah ajang perlombaan atau kompetensi, karena tidak hanya satu orang saja yang akan memperolehnya. Rahmat Allah begitu luas, dan siapa pun berkesempatan untuk merasakan nikmat Lailatul Qadar. Semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung, yang bisa merasakan kedamaian itu. Jika melihat nilai pahala atas keutamaan malam Lailatul Qadar, memang sangatlah luar biasa, sebab dikatakan bahwa pahala beribadah di malam itu jauh lebih baik daripada seribu bulan (pada bulan-bulan yang lain). Sangking istimewanya, Allah menetapkan janji tersebut dalam Al-Qur'an surah Al-Qadar, sebagai pengingat bahwa peluang kebaikan dan wujud cinta Allah pada hamba-Nya benar-benar luas. 

Salam hangat, 
AUW



Minggu, 23 Maret 2025

Ramadan#23 : Seni Mencintai

Aku menyukai angka ganjil, maka aku memilih tema-tema tulisan yang spesial pada tanggal ganjil di bulan Ramadan ini. Sebelumnya aku menulis tentang fitrah dalam diri manusia, dan menfokuskan pada fitrah beragama. Kali ini aku ingin menyinggung tentang fitrah lainnya, yaitu fitrah mencintai. Rasanya terlalu naif jika sebagai manusia kita mendiskreditkan pembahasan ini, atau bahkan enggan membahas tentang cinta karena dalih lebay dan semisalnya. Padahal alam semesta dan seisinya diciptakan dengan penuh cinta oleh Sang Maha Cinta. Cinta atau dalam bahasa Arab disebut الحب dapat diekspresikan dalam beragam cara, aku menyebutnya sebagai seni dalam mencintai. Sebagaimana seni yang kita anggap sebagai sebuah kejujuran karya manusia yang bernilai, maka segala bentuk seni dalam mencintai pun perlu diapresiasi. 

Melalui pendekatan fenomenologis, aku mencoba mengamati pengalaman manusia dan termasuk pengalaman personal yang aku miliki untuk mengambil hipotesis. Ternyata kita tidak dapat menggeneralisir bahwa cara terbaik dalam mencintai adalah A atau B, karena sangking kompleksnya manusia sehingga masing-masing jiwa memiliki cara terbaiknya dalam mencintai, yang dominannya dipengaruhi oleh faktor kondisi. 

Pada beberapa bulan belakangan, aku diperlihatkan dengan beberapa seni manusia dalam mencintai. Aku mencoba mengerucutkan hingga menjadi dua bagian, menurutku ini telah mencakup secara umum dari fenomena-fenomena yang sering kita temui. 

✓ Pertama, seni mencintai dengan mengikhlaskan. Hal ini tampak pada beberapa orang yang melapangkan hatinya untuk menerima bahwa tidak semua hal yang dicintai harus dimiliki. Terkadang kita cukup mengetahui bahwa yang dicintai tetap berada pada posisi aman dan tidak terluka. Seni ini tentu tidak mudah dilakukan, perlu kebesaran hati dan kekuatan yang besar dari dalam diri untuk bisa menekan ego. Karena ketika hati telah mencintai, ego-lah yang sebenarnya menginginkan.  Sementara cinta itu sendiri adalah murni, yang membuatnya menjadi sebuah tuntutan hanyalah hasrat/hawa nafsu. Maha besar Allah atas segala ciptaan-Nya, memberikan cinta dalam diri manusia, pada sisi yang lain juga memberikan ruang bagi ego bisa hidup di sana. Sebagaimana kisah Salman Al Farisi, ketika mengikhlaskan wanita yang dicintainya untuk bisa dinikahi oleh sahabatnya sendiri. Karena ia yakin, bahwa yang dicintainya akan baik-baik saja ketika bersama sahabat yang telah ia ketahui pribadinya itu. 

✓ Kedua, seni mencintai dengan mengorbankan. Ada cinta yang dipenuhi pengorbanan dan perjuangan, tak peduli pada hambatan apa saja yang dilaluinya. Karena bagi mereka yang memilih seni ini, cinta hanya bisa dibuktikan dengan pengorbanan. Entah itu mengorbankan, tenaga, waktu, maupun materi. Ketulusan yang mereka pancarkan di balik pengorbanan itu tentu akan menjadi sesuatu yang bernilai mahal, bukan tentang siapa tapi bagaimana dia melakukannya. Seni cinta ini menjadi panutan bagi banyak orang, termasuk seni ini juga yang dilakukan oleh Ibunda Khadijah Ra yang mengorbankan tenaga dan bahkan hartanya untuk kekasihnya tercinta. Namun karena ketulusan dan pengorbanannya itulah, yang membuat Nabi Muhammad juga sangat mengistimewakan dia di hatinya. 

Jadi, sebenarnya cinta itu adalah seni yang memerlukan tindakan, bukan sekadar perasaan. Apakah tindakan itu dalam bentuk mengikhlaskan atau memperjuangkan. Tak ada yang salah dari kedua seni itu, manusia memiliki kemerdekaan untuk memilih jalan mana yang paling cocok untuk dilaluinya. Yang keliru adalah ketika manusia menodai kata cinta dengan rasa sakit dan luka-luka. Mencintai tidak akan menyakiti, karena sejatinya cinta adalah sifat ilahiyah yang indah, siapa pun yang memahami makna hakiki dari cinta maka tak akan pernah ada luka yang dibiarkan tumbuh. 

Cinta adalah memberi, dan sebaik-baik pemberian adalah yang dilakukan dengan niat tulus. Jika dalam mencintai ternyata kita menyalahkan seseorang, perlu diperiksa kembali dengan melakukan refleksi, apakah benar cinta atau sekadar obsesif. Kita kadang menganggap pembahasan soal cinta sebagai suatu hal yang tabu dan menggelikan, padahal kita ada saat ini atas dasar cinta Ilahi dan tumbuh besar di bawah payung cinta kedua orangtua. Akhirnya kita menormalisasi bahwa orang yang mengekspresikan seni mencintai sebagai manusia yang "BuCin" alias budak cinta. Pernahkah kita menggali lebih jauh makna term tersebut? Kedua kata yang disandingkan: budak dan cinta. 

Budak dalam terminologi diartikan sebagai seseorang yang kehilangan kebebasan dan berada dalam paksaan untuk melakukan sesuatu. Sementara cinta adalah fitrah manusia yang dianugerahkan Tuhan sebagai manifestasi dari keindahan-Nya. Sehingga kedua kata ini saling bertolak belakang dan tidak merepresentasikan makna yang sesungguhnya dari kebebasan manusia dalam berekspresi. Bagi seseorang yang mencintai dengan ketulusan, melakukan sesuatu atas dasar self awareness yang tinggi, tanpa paksaan, ancaman, atau pun doktrinisasi tentunya kurang selaras dengan pelabelan kata tadi. Sebaliknya, seseorang yang melakukan sesuatu untuk orang lain atas dasar paksaan, rasa takut ditinggalkan, diduakan dan semisalnya, sebenarnya dia bukanlah juga bucin. Karena sikap yang cerminkan berbanding terbalik dari makna cinta sesungguhnya. Itu hanyalah bentuk eksploitasi yang menjual cinta dari wujud aslinya : obsesi. 

Maka dalam menanggapi rasa sebenarnya logika tak boleh dikesampingkan, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memaknai term, pun tidak terdapat hal-hal yang merugikan satu sama lain. Demikian kompleksitas manusia, memiliki akal dan hati untuk diolah dengan baik. Hati untuk mengasah kepekaan, dan akal untuk mengkritisi kejadian. Untuk menstabilkan keduanya, diperlukan ilmu agar senantiasa memperoleh nutrisi. Terakhir, aku ingin mengutip perkataan Jalaluddin Rumi, bahwa apapun yang kau dengar dan katakan tentang cinta, itu semua hanyalah kulit. Sebab, inti dari cinta adalah sebuah rahasia yang tak terungkapkan. 

With love,
AUW

Sabtu, 22 Maret 2025

Ramadan#22 : Fitrah dalam Diri Manusia

Manusia adalah makhluk yang memiliki prinsip hidup, eksploratif dan potensial. Manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis, dan di dalam diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan yang dapat dikembangkan, itulah yang kita sebut potensi. 

Namun manusia tidak hanya mencakup hal-hal itu saja, di dalam diri makhluk bernama manusia ada juga disebut fitrah. Baik itu fitrah untuk mencintai atau mungkin fitrah beragama. Yang akan menjadi pembahasan pokok kita saat ini adalah fitrah beragama pada diri seseorang. 

Ada tiga masa perkembangan keberagamaan menurut Charlotte Buchler, yakni periode prapubertas, periode pubertas, dan periode adolesen (masa dewasa. Di periode prapubertas Charlotte Buchler menggambarkan dengan kata-kata: ”Perasaan saya tidak enak, tetapi tidak tahu apa sebabnya”. Untuk periode pubertas di lukiskannya dengan ungkapan: “Saya ingin sesuatu, tetapi tidak tahu ingin apa”. Adapun dalam periode adolesen ia menggambarkan dengan mengatakan: ”Saya hidup dan saya tahu untuk apa.”

Kata-kata yang digunakan Charlotte Buchler mengungkapkan betapa masih labilnya kehidupan jiwa anak-anak ketika menginjak usia menjelang remaja dan di usia remaja mereka. Sebaliknya, setelah menginjak usia dewasa, terlihat adanya kemantapan jiwa mereka “Saya hidup dan saya tahu untuk apa”, menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup. 

Dengan kata lain, orang dewasa sudah memahami nilai-nilai yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya itu. Orang dewasa sudah memiliki identitas yang jelas dan kepribadian yang mantap. 

Kemantapan jiwa orang dewasa setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan pada orang dewasa. Mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap sesuatu yang dipilihnya, baik yang bersumber pada ajaran agama, maupun yang bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan. 

Manusia dewasa mulai memandang agama sebagai bagian terpenting dalam hidupnya. Pekerjaan, ideologi, dan kegiatan sosial, biasanya akan dikaitkan dengan tuntunan agama. Dalam psikologi agama, manusia dewasa mulai mengatasi kegagalan hidup dengan bantuan agama, sekalipun semasa hidupnya ia kurang mengamalkan agama atau kurang keyakinannya.

Terdapat fitrah dalam diri manusia, di mana ketika dewasa ia mengalami masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif. Masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, masa isolasi sosial, masa komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas, dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Fitrah ini mendorong manusia untuk menemukan kebenaran universal yang jauh lebih besar dari dirinya. 

AUW

Jumat, 21 Maret 2025

Ramadan#21 : Filosofi Teh




Jiwa yang tangguh tidak pernah membiarkan dirinya hanyut oleh keadaan. Ia akan memilih untuk menjadikan hidupnya lebih berarti dengan menjadi pembaharu dan penyebab perubahan. Begitulah seharusnya kita, dalam menyikapi kondisi. Bukan seperti daun kelapa yang tidak tegas pendirian, ketika ditiup angin ke kanan ikut, ditiup ke kiri juga ikut. Tidak juga seperti air yang hanya dapat dibentuk oleh wadah tempatnya bernaung, yang dengan mudahnya dapat berubah warna dan baunya karena dipengaruhi oleh unsur di luar dirinya. Tetapi, kita bisa memilih seperti teh, jika diperhatikan teh dapat mengubah air menjadi berwarna dan menjadi lebih wangi. 

Semoga kita bisa menjadi agen penggerak perubahan, dengan menebarkan aroma positif terhadap lingkungan kita, bukan malah kita yang tercemar oleh hawa-hawa negatif. Sebaik-sebaiknya prinsip seorang Muslim atau Muslimah adalah tidak memberikan sinyal pada kelemahan untuk benar-benar melemahkannya. Ternyata beberapa penelitian menunjukkan bahwa teh memiliki banyak manfaat selain sebagai pelepas dahaga, juga bermanfaat bagi kesehatan dan kecantikan. Begitulah seharusnya kita, semoga mampu memberi kehangatan, dan membawa manfaat bagi lingkungan sekitar kita. 

Dalam secangkir teh mengajarkan kita makna kesabaran, bahwa untuk menghasilkan warna yang sempurna, sebuah teh harus dicelup lebih lama. Jika ternyata ada sesuatu yang memungkinkan kita untuk baper, dievaluasi lagi apa penyebab dan bagaimana respons kita terhadap hal tersebut. Lihat teman posting makanan saat lagi kere-kerenya, disabarin lagi, bukan malah menganggap mereka tidak empati. Karena konsekuensi bersosial media adalah tahan banting dan hati kebal. Kita harus pandai-pandai mengatur perasaan agar tidak merugikan diri sendiri. Tidak semua masalah berasal dari orang lain, kadang kala penyebab masalah itu datang dari diri kita sendiri. 

Hidup ini mengajarkan kita untuk terus memberdayakan potensi akal, dengan belajar memaknai hal-hal kecil maupun besar. Banyak yang menganggap bahwa filsafat adalah sesuatu yang berat dan sulit dipahami, padahal sebenarnya kehidupan ini memiliki banyak nilai-nilai filosofis, bahkan hanya dengan secangkir teh seseorang dapat mempelajari sesuatu yang bermakna. 

Teh dapat diseruput dalam keadaan hangat maupun dingin, ditambahkan es batu pun justru akan semakin segar. Hal ini mengajarkan pentingnya beradaptasi dalam segala keadaan, baik di tengah kehangatan lingkungan kita maupun saat suasana sedang dingin-dinginnya. Untuk memperoleh rasa yang lebih nikmat lagi, teh dapat dicampur dengan elemen lain seperti gula, susu, maupun madu. Teh juga memiliki banyak wajah seperti Thaitea maupun Greentea, hingga jenis penamaan lainnya. Namun meskipun begitu, ia tetap memiliki kekhasan yang tidak terlepas dari identitas aslinya. 

Sebagai manusia yang hidup di tengah ketidakpastian, kita perlu terus melakukan inovasi dan memperluas relasi agar dapat berkolaborasi tanpa menghilangkan diri kita yang sejati. Dengan begitu, kita dapat lebih bernilai dan memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk mengembangkan diri dan potensi. 

Semoga kita bisa belajar dari hal-hal kecil yang kita temui, baik di dapur, di jalanan, atau bahkan di tempat sampah sekali pun. 

AUW

Kamis, 20 Maret 2025

Ramadan#20 : Karena Kita Begitu Istimewa

Terdapat dua unsur istimewa yang diberikan kepada manusia yaitu akal dan hawa nafsu. Dengan keduanya, penciptaan manusia disebut sempurna, terlebih lagi jika kita menelusuri manusia lebih jauh lagi, maka akan kita temukan bahwa manusia ibarat alam semesta yang sangat luas. 

Dalam Matsnawinya, Rumi mengutarakan bait. “Karena itu, sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos, pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos.” Dari segi fisik, manusia memanglah mikrokosmos karena kita hidup di alam. Kita membutuhkan makan, air, sayur-sayuran, dan kita pun memakan daging. Namun pada hakikatnya, manusia (bukan fisiknya), menurut Rumi adalah makrokosmos. Kita adalah alam lain yang lebih besar dari alam ini. 

Sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib, “Apakah kalian mengira kalian ini hanya tubuh kecil, padahal kalian adalah alam yang sangat besar?” Manusia memang lebih banyak meneliti hal-hal di luar dirinya, sedangkan hakikat dirinya sendiri tidak pernah diteliti, tidak pernah mencoba meneropong ke dalam jiwanya. Rumi kemudian menjelaskan lebih jauh dengan sebuah perumpamaan:

“Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah, padahal ranting itu tumbuh justru demi buah.”

Jalaluddin Rumi mengumpamakan manusia ibarat buah, dan buah merupakan hasil akhir dan harapan petani yang menanamnya. Sedangkan alam ibarat ranting, ranting tercipta demi buah, dan hanyalah wasilah untuk tumbuhnya buah. Sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran bahwa alam diciptakan sebagai tanda dari kasih sayang Allah terhadap manusia. Agar manusia bisa memanfaatkannya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. 

Sangking istimewanya, manusia diberi gelar "Khalifah" atau wakil Allah di muka bumi, dipercaya mampu mengatur dan hidup selaras dengan alam. Manusia juga dikatakan sebagai astrolab Allah, namun dibutuhkan seorang astronom untuk mengetahui astrolab. Ketika Allah telah menjadikan manusia bisa mengetahui dan mengenal diri-Nya, maka hamba itu akan mampu melihat ke dalam wujud astrolab itu. dirinya telah melebur dengan Tuhan dan keindahan mutlak. 

Terdapat tiga bagian penting dalam diri manusia yang perlu dipelihara dan diberi nutriri, yaitu jiwa, akal, dan materi/jasmani. Sebagai makhluk spiritual, kita perlu memberi nutrisi bagi jiwa dengan memperbaiki hubungan terhadap Tuhan atau memupuk spiritualitas. Kita juga makhluk intelektual yang perlu memberi nutrisi bagi akal dengan belajar dan meningkatkan pengetahuan. Namun tak dapat dipungkiri, kita juga merupakan makhluk sosial yang memerlukan materi untuk bisa bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan. 

Kehidupan yang seimbang adalah ketika ketiga bagian tersebut senantiasa dipupuk dengan baik. Manusia sejati adalah ia yang tak pernah berheti berusaha dan terus mengitari cahaya keagungan Tuhannya tanpa henti. Sementara Tuhan akan menyerap manusia dan menjadikan mereka bukan apa-apa, sebab Tuhan tak bisa dipahami akal siapa pun. Manusia menurut Aristoteles adalah الحيوان الناطق atau hewan yang berpikir. Itu berarti, dalam diri manusia terdapat dua kecenderungan. Pertama, memberikan hidangan pada sifat kehewanannya, yaitu nafsu dan harapan-harapan. Kedua, memberikan hidangan pada sifat kemanusiaannya, yaitu berupa ilmu, kebijaksanaan, dan kedekatan dengan Tuhan. 

Semakin kita merenungi penciptaan diri sebagai manusia, maka besar kemungkinan perasaan beruntung itu menyelimuti, bahwa kita menjadi yang terpilih untuk berada di sini. 

AUW



Rabu, 19 Maret 2025

Ramadan#19 : Self Love (Upaya Menghargai Eksistensi Diri)

Poin penting yang perlu terus dilakukan adalah “self love” atau mencintai diri sendiri. Selalu ingat bahwa orang pertama yang harus kamu cintai adalah dirimu. Pembuktian itu untuk dirimu sendiri, tidak untuk orang lain. Jangan menjadikan orang lain sebagai standar ganda, yang patut dijadikan standar adalah dirimu sendiri di hari kemarin. Dengan begitu, kamu tidak sedang mencoba menjadi orang lain, tetapi menjadi dirimu sendiri dengan versi yang lebih baik. 

Kamu tentu boleh mencintai orang lain atau objek-objek lain yang menarik perhatianmu, namun berikan porsi secukupnya. Jangan memberikan porsi yang besar dalam mencintai, kamu akan kehilangan dirimu jika itu terjadi. Cintai dirimu lebih, sebelum kamu mencintai manusia lainnya. Dirimu berhak bahagia. 

Jika tangki cinta yang dimiliki telah terisi, besar kemungkinan kita akan memberikan banyak cinta juga untuk orang-orang sekitar. Tapi prioritaskan dulu dirimu sendiri tanpa harus merugikan orang lain, karena kamu akan banyak menuai rasa sakit jika kamu memberi cinta saat dirimu sendiri sebenarnya sangat kekurangan cinta. Berbeda antara egois dan mencintai diri. Mencintai diri sendiri bukan berarti harus egois dan tidak memikirkan orang lain, itu adalah hal yang berbeda. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk bisa terhubung dengan dirimu sendiri, sehingga hidup semakin bermakna. Cara-cara ini akan membantumu menjalani hari-hari dengan lebih santai dan lebih menghargai eksistensimu. 

      Seorang psikolog, Irma Agustina berpesan bahwa setiap orang memiliki timezone-nya masing-masing, tidak lebih cepat dan tidak juga lebih lambat. Semuanya tepat dan pas. Jadi, kamu tidak perlu merasa terancam terhadap pencapaian orang lain. Kamu adalah kamu, nanti akan tiba waktunya. Tips dari Irma Agustina agar kamu bisa lebih mencintai dirimu adalah:
✓ Lakukan sesuatu yang harus kamu lakukan sebelum memutuskan untuk membantu orang lain.
✓ Jadwalkan waktu istirahat untuk dirimu sendiri. 
✓ Menjauh dari energi-energi negatif dan drama.
✓ Validasi perasaan dan kebutuhan emosional kamu.
✓ Meluangkan waktu untuk hiburan atau kegiatan menyenangkan lainnya. 

Menjadi diri sendiri dengan tidak di-dikte oleh kehendak orang lain, tapi juga tidak menutup diri dari hal-hal baru yang memungkinkan untuk membuatmu bertumbuh. Kamu boleh mengizinkan orang lain untuk menyarankan sesuatu, membagikan ilmu atau pemahaman baru, tapi kamu memiliki hak untuk menyaringnya terlebih dahulu sebelum menerimanya. Dengan begitu, kamu menjadi lebih menghargai hidupmu karena telah memberikan boundaries (batasan) terhadap hal-hal eksternal untuk bisa masuk di hidupmu. 

Perasaan tidak layak seperti tentu dialami oleh banyak orang di luar sana dalam kasus yang berbeda-beda. Baik perkara wajah cantik/tampan atau tidak, tubuh ideal atau tidak, hingga pada penyematan istilah aura Duha atau aura Magrib. Karena terganggu dengan stigma-stigma dari luar, pada akhirnya kita sulit menerima dan sulit menjadi diri kita sendiri. Kita melakukan sesuatu demi menyenangkan atau memuaskan penilaian orang lain, padahal penilaian itu semua tidak akan mengurangi kualitas kita. 

Pada sebuah projek kepenulisan yang aku ikuti, seorang perempuan bernama Nadiyya Atmim menulis dengan judul “Aku adalah Aku”. Tulisan yang cukup menyentuh terutama bagi seorang perempuan. Dia butuh waktu untuk bisa lebih percaya diri dan menemukan dirinya sendiri, di antara yang dia lakukan adalah deep talk atau mengobrol jauh ke dalam, menggali apa-apa saja yang menjadi kelebihan dirinya dan apa saja yang perlu dia ubah. Setelah deep talk, perlahan kamu akan sampai pada fase self awareness (kesadaran diri). Dengan begitu akan mengantarkan kamu untuk merasa layak dan merasa lebih baik dari sebelumnya, tanpa berusaha menjadi orang lain. Lalu, hal ini membuatmu yakin terhadap value dan prinsip hidup yang kamu miliki, sehingga kamu lebih bahagia, lebih damai, lebih positif untuk meraih impianmu. 

Mencintai diri sendiri mendorongmu untuk menerima diri sejati dan hidup secara otentik sehingga kamu akan mencapai kedamaian batin dan harmoni dalam dirimu. Ketika kamu mencintai dan menerima diri sendiri sepenuhnya tanpa syarat, kamu akan lebih selaras dengan cinta universal yang menghubungkan semua makhluk. Ini adalah sebuah upaya untuk menghargai eksistensi sebagai makhluk ciptaan Tuhan, agar menumbuhsuburkan rasa syukur di hati. 

AUW



Selasa, 18 Maret 2025

Ramadan#18 : Etika dan Agama sebagai Remot Kontrol

Arus globalisasi dan perkembangan ilmu-ilmu modern memberikan begitu banyak manfaat dan kemudahan bagi manusia. Berbagai macam penemuan dan hasil eksperimen menunjukkan betapa manusia mampu memberdayakan potensi akal yang diberikan Allah Swt. Namun belakangan yang terjadi di masyarakat adalah terdapat pergeseran moral akibat kemandirian dan kecerdasan manusia yang tidak bersinergi dengan baik. Nilai-nilai etika dan agama mulai mengalami kemerosotan di tengah kehidupan sosial, hal ini terbukti dari maraknya kasus kriminal yang diberitakan baik secara nyata disaksikan oleh mata, maupun yang disampaikan oleh reporter-reporter di TV dan media lainnya. Penipuan, pencurian mode halus, dan tindak kekerasan marak terjadi tapi pelaku seperti tidak memiliki rasa bersalah. 

Bukan hanya tindak kriminal, melainkan juga tingkah laku manusia yang mulai kehilangan rasa malu. Berdasarkan realitas inilah saya tertarik menggali kembali betapa pentingnya ajaran tentang etika dan agama agar tidak kehilangan fungsi di tengah kehidupan sosial kemasyarakatan. 

Baik etika maupun agama keduanya merupakan dua hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, keduanya merupakan hal yang urgen dalam kehidupan. Walaupun seseorang dilahirkan terpisah dengan individu lainnya, tetapi sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri dan tidak dapat terlepas dari makhluk lainnya. Setiap agama memiliki tata aturan dalam menjalani kehidupan, dan masing-masing agama mengajarkan etika. Dalam Islam sendiri, etika dapat terlihat dari inti sari ajaran Islam yang berupa kemaslahatan baik secara individu maupun masyarakat. Secara teoritis memang dalam ajaran agama termasuk agama Islam sangat menjunjung tinggi kemaslahatan, namun secara praktik yang terjadi di lapangan adalah etika dan ajaran Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam tampaknya tidak selalu berjalan baik. 

Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu hidup bersama dengan menjadikan agama dan juga etika sebagai suatu laku hidup dalam bersosialisasi. Dalam rangka mengembangkan sifat sosial itu, manusia tentu akan selalu menghadapi masalah-masalah sosial dengan berbagai nilai. Untuk itu, selain persoalan hukum, politik,dan budaya, juga perlu kita memahami tentang agama dan etika. 

Fungsi etika dalam kehidupan sosial adalah untuk mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk, sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan di tiap-tiap daerah. Etika juga berfungsi untuk mengatur serta mengarahkan citra manusia kepada jenjang akhlak yang luhur, juga menuntut manusia agar dapat bersikap rasional. Sementara fungsi agama sebagai remot kontrol yang mampu mengimbangi manusia. Agama berfungsi sebagai pelindung dan penyejuk yang memberikan keteduhan, karena dalam agama terdapat harapan-harapan yang menjadi fitrah manusia untuk bergantung kepada suatu Zat yang Wajib.

Etika dan agama memiliki hubungan atau relasi yang sangat kuat. Di mana etika dan agama akan saling melengkapi sisi kehidupan manusia, dan mencerminkan keindahan dalam diri manusia ketika ia mampu menjalankan kehidupan di atas nilai-nilai agama dan etika sosial. Keduanya berpeluang menuntut seseorang untuk menjadi manusia yang lebih bermanfaat dan berkualitas karena pada dasarnya keduanya memiliki fungsi untuk mengajarkan manusia mana yang hak dan mana yang batil. Bedanya, tolak ukur kebenaran untuk etika berlandas pada akal, sementara agama berlandas pada kitab suci atau wahyu.

Menurut Amtsal Bahtiar, seorang penulis dan pemikir, etika digunakan dalam dua bentuk. Pertama, etika merupakan suatu kumpulan mengenai pengetahuan dan penilaian terhadap perbuatan manusia; kedua sebagai suatu predikat yang digunakan untuk membedakan hal-hal dan perbuatan-perbuatan manusia yang lain. Sementara agama adalah peraturan yang mengatur manusia agar tidak kacau dalam menjalani hidup, yang berlandas pada jalan peraturan atau hukum Tuhan yang telah ditetapkan dalam kitab suci. 

Kehidupan modern membuat manusia banyak melupakan eksistensinya, menganggap bahwa alam semesta dan seluruh yang terhampar di dalamnya bebas untuk dieksploitasi sesuka hati, semau hawa nafsunya. Berkata dan berlaku pun tak lagi terkontrol, hingga rentan terjadi sikap saling menyakiti baik fisik maupun mental. Kebebasan memang menjadi dambaan setiap orang, bahkan tren di kalangan generasi muda bahwa semakin bebas artinya semakin keren. Padahal hakikatnya bagaimana pun bentuk kebebasan dan kemerdekaan itu,  selalu membutuhkan aturan baik norma sosial maupun keagamaan. Jika nilai-nilai ini terlepas dari kehidupan manusia, yang tersisa adalah kesewenang-wenangan dan kehancuran. 

AUW


Senin, 17 Maret 2025

Ramadan#17 : Cahaya Kasih Ilahi di Puncak Gunung

Ada rasa rindu dan keingintahuan yang menyerbu, seakan kedua kaki masih sangat kuat untuk menanjak menuju tempat bersejarah dan penuh kenangan bagi umat Muslim. Jabal Nur terlihat kokoh dan indah dari tempatku berdiri, waktu menunjukkan pukul lima sore waktu setempat. Semangatku semakin membuncah untuk bisa sampai ke puncak dan menyaksikan Gua Hira secara langsung, tempat di mana manusia istimewa itu gemetar dan berada dalam ketakutan. 

Setiap kali istirahat dan mengambil jeda untuk melanjutkan langkah kembali, aku selalu menoleh ke bawah, melihat betapa indahnya Kota Mekah dan betapa hebatnya perjuangan Ibunda Khadijah saat itu yang rutin membawakan makanan untuk Rasulullah yang sedang bertafakur di atas sana. Menapaki rute yang tidak mudah dan berbatu sembari membawa bekal untuk kekasihnya, sungguh pengorbanan yang tulus. 

Dengan ketinggian kurang lebih 640 meter, memerlukan waktu kurang lebih satu jam hingga sampai ke puncak. Aku melaksanakan salat Magrib di atas sana, dengan perasaan haru yang menyelinap masuk ke relung kalbu. Perlahan aku melangkah menuju mulut Gua Hira, yang posisinya menggantung di atas ketinggian, seakan punduk unta yang berada di gunung, dan bentuknya yang unik ini menjadi ciri khas dari Jabal Nur. 

Maha Besar Allah yang telah menciptakan gunung-gunung yang menjulang, serta langit-langit tanpa tiang yang berserakan keindahan gemintang dan rembulan. Hari semakin gelap, bermodalkan senter aku dan beberapa umat Muslim lainnya mencoba memasuki gua tempat Rasulullah bersemayam. Betapa besarnya kasih sayang Allah, sehingga di tempat yang kecil, sunyi, dan gelap itu hambanya dapat merasakan ketentraman dan cahaya hidup. 

Seketika visualisasi siroh yang pernah kubaca melayang-layang di depan mata. Dalam sebuah riwayat menceritakan bahwa pada suatu malam di bulan Ramadan, Nabi Muhammad Saw melihat sebuah cahaya yang tiba-tiba memancar menerangi gua yang gelap. Cahaya yang belum pernah ia lihat sebelumnya, seolah-olah mentari sedang terbit menyinari gua itu pada malam hari. Ia semakin panik ketika dari cahaya itu terlihat sosok makhluk aneh dengan ukuran yang besar, tetapi terlihat tidak seperti manusia. 

Sosok itu mendekat dan merengkuh Nabi Muhammad sambil berkata "Iqra" (bacalah), dengan penuh kebingungan Nabi Muhammad berkata "Aku tidak bisa membaca". Sosok kembali menarik Nabi Muhammad dan berkata, "Iqra", dan lagi-lagi ia mengatakan "Aku tidak bisa membaca". Hingga ketiga kalinya, sosok itu mendekapnya lagi dan berkata "Iqra", kemudian melepaskan Nabi Muhammad lalu mengatakan: 
"Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya ...." 

Sosok misterius itu tak lain adalah Malaikat Jibril yang menjadi perantara Allah untuk menyampaikan pesan cinta-Nya pada makhluk istimewa. Malaikat Jibril kemudian berlalu, menyisakan perasaan takut dan keringat dingin pada Nabi Muhammad. Betapa terenyuh hatiku mengingat bagaimana Rasulullah berlari dalam keadaan takut, menuruni Jabal Nur yang tinggi ini di tengah kegelapan hanya untuk menuju ke pangkuan istrinya. Namun dengan kelembutan dan keteduhannya, Ibunda Khadijah menyelimuti Rasulullah sembari berucap, "Tidak perlu takut. Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya, sebab engkau orang yang senantiasa menjaga silaturahmi, menghormati tamu, membantu orang yang membutuhkan pertolongan, menyantuni orang fakir, dan menolong orang yang tertimpa musibah." 

Aku menghela nafas lega, menghirup udara Kota Mekah di atas Jabal Nur dengan memori sejarah yang kembali terekam tentang pengabdian seorang hamba pada Tuhannya, tentang pengorbanan seorang perempuan pada kekasihnya, tentang cinta kasih Ilahi yang menembus alam pikiran manusia. Karena proses turunnya wahyu dari malaikat Jibril boleh jadi tidak diyakini oleh beberapa kepala jika dipaksa untuk membuktikannya secara ilmiah. Namun demikianlah kebenaran transendental mampu menembus batas-batas empirik. 

Kalimat yang diucapkan malaikat Jibril kini abadi dalam kitab suci umat Islam, tepatnya dalam Q.S Al-'Alaq pada juz 30, dikenal sebagai ayat pertama yang Allah wahyukan kepada Rasulullah Saw. Sejarah mencatat bahwa turunnya ayat ini juga menjadi waktu "Nuzul Al-Qur'an" atau turunnya Al-Qur'an yakni di bulan yang penuh khidmat, bulan suci Ramadan. Mayoritas ulama berpendapat malam tersebut adalah malam 17 Ramadan. 

Semoga kita termasuk orang-orang yang merindukan Rasulullah, agar dapat dipertemukan dengannya pada kehidupan selanjutnya. Allahümma shalli 'alaa sayyidina Muhammad

Salam hangat, 
AUW

Minggu, 16 Maret 2025

Ramadan#16 : Berlapang Dada-Wujud Cinta Seorang Hamba


Siang itu, aku memenuhi janji dengan seorang professor yang sudah kuanggap seperti orangtua sendiri. Tak pernah ada pembicaraan sia-sia setiap berjumpa dengannya, setiap untaian kalimat yang dia keluarkan selalu berbobot dan berisi. Hingga tiba hari di mana aku merasa perlu nasehat, ada keganjalan dalam benakku yang membuatku terdorong untuk mencari pencerahan. Di ruang ber-AC yang begitu nyaman, aku dipersilakan duduk berhadapan dengannya dan posisiku tepat berada di samping perempuan teduh yang merupakan istrinya. Sambutan hangat ibu itu sejak pertama jumpa beberapa tahun silam, tak pernah berubah.

"Tuhan itu bisa dirayu. Pertama, kamu bisa merayu Allah melalui doa-doamu. Kedua, kamu bisa merayu Allah melalui hamba yang dikasihi-Nya. Hamba yang dikasihi Allah adalah orang-orang yang patut diperlakukan juga dengan kasih, mereka adalah para anak yatim." Dia menyampaikan itu padaku dengan tutur yang tenang, aku mengangguk pertanda paham. Lalu, dia melanjutkan ...

"Modal pertama yang harus kamu miliki terlebih dahulu adalah keyakinan. Kamu harus yakin pada pertolongan Allah, sehingga memang perlu melibatkan Allah dalam segala urusan, di awal hingga akhir. Jika kamu berlapang dada atas apapun yang terjadi dan menimpamu, insha Allah akan ada hadiah yang bahkan jauh lebih baik setelah itu." 

Aku mencoba menggarisbawahi kata berlapang dada yang  dia sampaikan. Sekilas mungkin terdengar biasa saja, namun sungguh tertancap kuat dalam memoriku. Setelah pertemuan kurang lebih satu jam yang sarat makna itu, aku kembali ke rumah dalam keadaan lega dan bersyukur. Aku mulai memutar beberapa kejadian dalam memori otakku, dan benar bahwa hal-hal yang telah diterima dengan lapang dada atau dalam arti lain ridha dengan ketetapan Allah, ternyata dibalas hadiah lebih baik dari-Nya. 

Betapa sering Allah melihat suatu keburukan dari diri kita namun Allah tutupi, kemudian kita memohon ampun dan Allah mengampuni. Lalu pada saat yang lain ketika Allah melihat kebaikan dari kita, Ia perbanyak dan Ia tampakkan. Maka ridha atas ketetapan-Nya adalah keniscayaan yang semestinya dilakukan seorang hamba, sebagai wujud cinta pada Tuhannya. Dialah yang mendekatkan dan menjauhkan, yang memberi dan menahan, yang merendahkan dan meninggikan. Satu hari mungkin berpihak pada kita, lalu di hari yang lain menyelisihi keinginanan kita. Ketika dihadapkan dengan sesuatu yang tidak menyenangkan hati, kita mungkin terkadang mengeluarkan statemen berupa protes pada Allah: Mengapa begini? Untuk apa semua ini terjadi? Dan lain sebagainya. 

Dalam hadisnya, Rasulullah menyampaikan bahwa: "Beribadalah kepada Tuhanmu dengan ridha, tetapi bila tidak mampu, maka dalam sikap sabar atas segala yanh tak kau sukai terkandung kebaikan yang amat banyak." 

Kita diberi wewenang untuk memilih, dengan akal dan hawa nafsu yang telah diberikan, kita bisa saja memilih untuk marah pada Allah atas ketetapan-Nya, tapi kita juga bisa memilih untuk bersabar sembari tetap yakin pada kemungkinan-kemungkinan baik yang ada di balik ketetapan itu. Dalam keridaan, doa bukanlah suatu hal yang bertentangan. Jadi, ridha bukanlah bentuk keputusasaan, karena kita masih tetap bisa melayangkan doa sebagai bentuk optimisme bahwa penerimaan terhadap ketetapan Ilahi akan tetap memberikan ruang-ruang pengharapan untuk garis takdir yang baik di dunia dan di akhirat. Mengutip dari sabda Nabi Saw., bahwa doa adalah otaknya ibadah, senjata bagi para kaum mukmin. 

Hari ini, beberapa hal telah terjadi dan terlampaui dengan baik. Bermodalkan keyakinan dan lapang dada, ternyata mengundang hadiah-hadiah indah sebagai penawar dari rasa sakit yang pernah dialami. Hasbunallah wa ni'mal wakil ....

AUW

Sabtu, 15 Maret 2025

Ramadan#15 : Self Management


Segalanya istilah perlu definisi, maka kita mencoba memberikan definisi terhadap definisi self management / manajemen diri. Self management merupakan kemampuan seseorang untuk mengatur dan mengontrol dirinya sendiri. Di mana ruang lingkup self management berupa regulasi emosi, kontrol pikiran dan perilaku untuk mencapai kepribadian dan tujuan hidup yang baik. 

Kita mungkin perlu memetakan beberapa poin yang termasuk ke dalam self management, di antaranya : 

1. Goal Setting. Dalam membuat tujuan, kita membutuhkan strategi agar tidak salah sasaran. Tujuan dapat ditentukan dengan memerhatikan lima aspek yang disingkat SMART. SMART merupakan akronim dari "specific, measurable, achievable, relevant, dan time boanding". Spesifik maksudnya, tujuan yang ditentukan harus jelas secara definisi dan maksud. Measurable (terukur) artinya tujuan itu harus bisa diukur atau dinilai keberhasilannya, baik dalam bentuk presentase ataupun standar pengukuran yang lain. Achievable (terjangkau), maksudnya adalah tujuan kita mampu dijangkau, tidak mengambang, dan masuk akal. Relevant, dalam hal ini yang dimaksud adalah tujuan-tujuan kecil yang kita pilih harus relevan dengan tujuan utama hidup kita agar selaras. Sementara itu, time bound adalah kita menetapkan batas waktu untuk setiap goal/tujuan agar ada motivasi untuk terus melangkah. 

2. Time Management (Manajemen waktu), merupakan kemampuan seseorang untuk mengelola waktunya dan melihat mana yang prioritas, mana yang urgen, dan mana yang tidak begitu penting. Bukan waktu yang mengatur kita, tapi kita yang bisa mengatur aktivitas kita. Tata kelola waktu dapat dilakukan dengan membuat daily or weekly to do list. Dengan begitu, kegiatan kita menjadi lebih terarah dan terstruktur. 

3. Emotional Regulation atau kemampuan meregulasi emosi. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan seseorang dalam memahami dan mengontrol emosi, bagaimana mengenali trigger, dan mempraktekkan mindfulness agar bisa mengatur perasaan tidak enak yang dirasakan. Ketika perasaan yang tidak menyenangkan itu muncul, kita perlu mengenali dan melabeli perasaan apa yang timbul saat itu, lalu memberi jeda untuk memikirkan sebab dan akibat. 

4. Self Discipline. Yang dimaksud ialah kemampuan untuk bisa komitmen dan fokus pada goal/tujuan. Salah satu bentuk self discipline juga ialah dengan memasang boundaries atau batasan personal antara kita dan orang lain, serta bagaimana kita mampu bertanggung jawab pada diri sendiri. 

5. Self Motivation. Kita perlu mengetahui diri sendiri atau mengenal diri lebih jauh lagi tentang apa yang kita butuhkan, termasuk kebutuhan akan motivasi diri. Dengan self motivation ini, dapat membantu kita untuk mampu meningkatkan value dan mengapresiasi pencapaian diri. 

6. Reflection/Self Assessment. Hal ini baik dilakukan setiap malam sebelum tidur, kita bisa merenungi atau menuliskan hal-hal yang telah terjadi pada diri kita selama satu hari ini. Semakin sering kita berefleksi, maka semakin besar peluang untuk mengetahui apa kelemahan dan kekuatan diri kita sendiri, serta meningkatkan apa yang kita butuhkan. 

7. Adaptif. Kemampuan beradaptasi diperlukan di mana-mana, baik di dunia kerja, keluarga, pertemanan, dsb. Namun beradaptasi juga perlu dibarengi dengan komitmen yang kuat terhadap apa yang menjadi nilai hidup kita selama ini. 

8. Stress Management / Self Healing. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk managemen stres seperti meditasi, journaling, animal assist therapy, grounding atau berjalan di rumput tanpa alas kaki, berbaur dengan alam, doodle art, dan berbagai macam kegiatan positif lainnya yang mampu mengubah fokus. 

9. Seeking Feedback. Yang dimaksud adalah upaya kita untuk bisa menemukan umpan balik dari kerabat atau orang-orang sekitar yang mampu membantu dalam meningkatkan kesadaran personal. Mungkin bisa dengan melakukan dialog interaktif dengan teman-teman yang sefrekuensi dengan kita. 

Demikian beberapa tulisan singkat mengenai self management yang sangat dibutuhkan terutama di tengah arus informasi yang sulit dibendung seperti sekarang. Semoga kita senantiasa mampu mengendalikan diri, dengan mengoptimalkan potensi akal dan kepekaan jiwa sebagai makhluk spiritual. 

AUW

Jumat, 14 Maret 2025

Ramadan#14 : Come and Go

Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. Setiap kesedihan akan berlalu, kegembiraan pun juga berlalu. Semua seperti roda yang terus berputar, ibarat lingkaran yang tiada putusnya namun memiliki waktunya masing-masing. Perubahan adalah suatu hal yang pasti, akan kita temui bahwa hidup ini ternyata dinamis, maka cara terbaik untuk menjalaninya adalah dengan fleksibilitas. Aku sengaja mengatakan ini, karena dari sekian banyak kekacauan yang dialami manusia adalah karena ketidaksiapan menerima suatu perubahan; termasuk perubahan dari yang tadinya ada menjadi tiada. 

Kehidupan mengajarkan kita bahwa segala sesuatu akan datang dan pergi, selalu seperti itu, dan hal inilah yang perlu kita sadari. Come and go: seseorang datang dan pergi dalam hidup kita, jabatan datang dan pergi, popularitas juga datang dan pergi. Semua yang bersifat duniawi akan fana. Mungkin penting menancapkan akar yang kuat sebagai sistem keyakinan mendasar tentang rumus kehidupan. Satu hari akan berpihak kepada kita namun di hari berikutnya boleh jadi menentang kita. 
 Pada saat kehidupan berpihak pada kita, jangan mudah gegabah dan merasa bangga. 

Sebaliknya, saat ia menentang tetap positif dan jalani dengan tenang. Karena kedua hal ini sama saja, sama-sama bersifat sementara. Jika seseorang meninggalkan kita atau pekerjaan tiga digit itu meninggalkan kita, dengan sekuat tenaga kita meyakinkan diri bahwa perasaan kacau ini hanya sementara. Perpisahan adalah keniscayaan, bahkan ruh akan berpisah dengan jasadnya. Perpisahan adalah jodoh bagi temu, maka di manapun dan dengan siapa pun, hadirlah sungguh-sungguh. Ciptakan momen sebaik mungkin, agar jejak yang tertinggal dipenuhi cinta dan kebaikan. 

Jika saat ini sedang bekerja di sebuah perusahaan, berikan yang terbaik untuk tempat kerja kita. Bekerjalah dengan maksimal, dengan tulus, dengan niat yang selalu di-refresh setiap hari, dan menjalin relasi bersama rekan-rekan kerja, karena kesempatan itu hanya datang sekali. Jika saat ini memiliki pasangan, perlakukan dengan sebaik-baiknya, hargai kehadirannya, dan nikmati setiapmomen saat bersamanya. Jika saat ini sedang disibukkan dengan urusan bayi, bangun tengah malam untuk menggendong bayi dan mendengarkan pekikan tangis setiap hari; cukup katakan pada diri sendiri bahwa waktu ini akan berlalu, maka memaksimalkan saat ini adalah langkah terbaik. 

Dalam buku Mata Air Inspirasi yang penuh reflektif, Abdullah Hadrawi melayangkan pandannya bahwa hidup ini adalah cerpen alias cerita pendek yaitu dari tanah, di atas tanah dan kembali ke tanah. Maka hiduplah dengan sebaik-baiknya, layaknya seorang penyelam yang mencari mutiara, dengan memanfaatkan oksigen yang ia bawa. Jangan sampai karena satu hari yang menyedihkan, lantas kita menyerah dan ingin menamatkan cerita saat itu juga. Sementara masih ada peluang kebahagiaan yang dapat kita ciptakan. 

Ketika kita kehilangan (terutama kehialangan seseorang yang sangat dicintai) memang rasanya begitu pahit, sakit, dan sesak-menyesakkan. Rasanya dunia runtuh seketika,apalagi jika yang pergi tidak lagi dapat ditemui di dunia ini. Seseorang dalam hidup ini sama seperti perasaan: come and go. Kita tidak pernah memiliki, maka sebenarnya kita tidak pernah kehilangan apapun. Tak satu pun pertemuan yang sia-sia, jika bukan kita yang belajar darinya, mungkin dia yang belajar dari kita. Namun yang sering terjadi adalah kita akan sama-sama belajar. 

Setiap tahun kita melaksanakan Hari Raya Idul Adha, sebuah hari raya kurban untuk mengenang kisah pengorbanan seseorang terhadap hal yang dicintainya. Secara implisit, syariat kurban mengisyaratkan bahwa kita harus melepaskan kemelakatan dalam hidup ini. Kita dilatih untuk menerima bahwa kepergian dan kehilangan adalah cara Tuhan untuk menguatkan serta mendewasakan kita. Pada satu zona waktu tertentu, kita sedang menjalani pendidikan tentang menyembelih ego dan menguliti ketidaksadaran itu secara perlahan. 

“Suatu saat nanti, entah kapan namun pasti, kamu akan kehilangan sesuatu yang sangat kamu sayangi. Belajarlah menerima sejak dalam pikiran. Bersyukur atas waktu ketika kamu bersamanya, dan waspada jangan sampai rasa senang terhadapnya membuatmu luput. Tak ada yang pasti dalam kehidupan ini kecuali perubahan dan kematian.”

Salam hangat, 
AUW


Kamis, 13 Maret 2025

Ramadan#13 : Memaafkan

Puasa menjadi momen latihan kesadaran termasuk sadar untuk berdamai dengan diri sendiri dan memaafkan semua yang telah terjadi. Memaafkan masa lalu, memaafkan diri sendiri, dan berhenti mengutuk situasi. Lalu, memberikan ruang pada diri untuk berbenah. Selamat menyibak mendung! Mari belajar memaafkan mereka yang menyakiti kita, dengan mengikis sedikit ego yang bermuara di dasar hati. 

Dari Radio-Rodja756am aku mendengarkan sebuah hadis dari Abu Hurairah ra yang mengisahkan bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah Saw., dan berkata: “Wahai Rasulallah, saya memilik kerabat, saya meyambung silaturahmi tetapi mereka memutuskan. Mereka berbuat buruk terhadap saya, tetapi saya berusaha berbuat baik kepada mereka. Lalu Rasulullah Saw berkata., ‘jika yang kamu katakan itu benar maka seakan-akan kamu menaburkan debu panas ke wajahnya, dan senantiasa Allah akan menolong Nn kamu selama kamu terus berbuat demikian.” (HR. Muslim) 

Ketika hendak tidur, kita bisa berlatih melapangkan hati sejenak, maafkan segala kesalahan orang lain. Semoga dengan begitu, Allah melimpahkan kasih sayang-Nya dan memberikan kita ketentraman. Seorang hamba akan selalu menjaga hatinya agar tidak mudah baper, dan tidak mengingat-ingat selalu kesalahan orang lain. Sebenarnya hanya ada kemungkinan seseorang bisa terjangkit virus baper ini. Pertama, orang lain yang kelewatan, atau kedua diri kita yang berlebihan. 

Dalam hal ini sikap maupun omongan orang ibarat tamu, pilihannya ada pada kita. Kita dapat menentukan hal mana yang kita izinkan masuk, dan yang tidak pantas untuk kita izinkan. Pintalah dalam bait-bait doa, “Ya Allah, jangan biarkan hatiku menjadi beku dan mengeras. Jadikan hati ini laksana embun yang menyejukkan, agar tak ada benci dan dendam yang bermuara. Agar hidup bahagia tanpa pertikaian, agar hati damai tanpa duri yang menancap lama. Karena kebencian hanya akan membunuh secara perlahan. Mematikan hati, dan menyengsarakan hidup.

Terkadang kita butuh waktu untuk sendiri. Merenung, mengikhlaskan semuanya, dan mengadu pada Tuhan. Kadang, tak seorang pun yang pantas kita tumpahi cerita, cukup kembali ke dalam diri. Melihat luas kasih sayang Tuhan yang selalu membuka pintu maaf-Nya, semoga sebagai hamba-Nya kita pun mampu memperluas pintu maaf itu. 

Sebelum tidur ...
• Maafkan mereka yang telah menyakiti kita, maafkan masa lalu, maafkan diri sendiri. 
• Istighfar atas segala khilaf dan dosa sepanjang hari ini 
• Langitkan doa kehadiran Ilahi

Karena hanya dengan begitu kita menjadi tenang. Tidak mudah, namun perlu terus berlatih. Semoga semua makhluk berbahagia. 

AUW

Rabu, 12 Maret 2025

Ramadan#12 : Meaningful Life

Banyak versi tentang hidup yang bermakna, tapi kita harus memiliki definisi yang lebih jelas tentang hidup seperti apa yang akan dijalani. Jika menurut Socrtaes, filsuf Yunani abad ke-4 SM, berpendapat bahwa “Uniximed life is not worth living”. Artinya hidup yang tidak teruji adalah kehidupan yang tidak layak untuk dihidupi. Sudut pandang Socrates ini sebenarnya ingin menyadarkan kita tentang eksistensi/keberadaan di dunia. Socrates adalah filsuf yang sangat kritis, dan dari ungkapan tadi kita dituntun untuk mengkritisi kehidupan yang dijalani saat ini. 

Meaningfullife ...

Hidup yang bermakna adalah kehidupan yang penuh niat dan tujuan atau yang biasa disebut oleh anak-anak sekarang sebagai life purpose. Persoalannya, apakah kita sudah mengetahui tujuan hidup kita? Setiap pagi kita bangun tidur dalam keadaan menggerutu karena masih mengantuk tapi harus tetap berangkat kuliah, berangkat kerja, menyiapkan sarapan untuk orang-orang di rumah, hingga aktivitas lainnya yang dilakukan begitu saja tanpa makna. Kita melakukannya karena merasa HARUS, atau lebih parahnya lagi kita melakukan semua itu karena TAKUT dan TERPAKSA. Sebenarnya, kehidupan seperti apa yang kita inginkan? 

Menulis ini, aku mendapat gambaran berupa visualisasi ayat dalam al-Quran tepatnya surah al-Baqarah tentang tujuan manusia diciptakan. Ayat tersebut sering kita dengar, sering diulang-ulang, bahkan kita lewatkan begitu saja. Dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia untukmenjadi khalifah di muka bumi. Setelah melakukan permenungan, ternyata kata “khalifah” bermakna begitu luas dan dalam. Yang sering sampai pada kita bahwa khalifah adalah pemimpin, namun bukan sekadar itu. Khalifah juga berarti sebagai wakil Allah di muka bumi, sebagai manifestasi dari Allah itu sendiri, Tuhan sekalian alam. 

Lalu, apa hubungannya dengan meaningful life? Menurutku sangat erat kaitannya antara hidup bermakna dan memahami tujuan. Manusia yang merupakan makhluk spiritual sekaligus juga makhluk sosial dan intelektual mampu mengurai dengan baik hal apa saja yang perlu dimiliki untuk bisa memaknai hidup ini. Jika kita percaya bahwa kita sebagai manusia adalah “khalifah”, kita akan lebih banyak menfokuskan diri pada sesuatu yang meningkatkan kualitas hidup dan menebar kebermanfaatan selama hidup. Untuk bisa benar-benar mindful, kita perlu menikmati momen saat ini sehingga perhatian tertuju dengan baik, artinya memaksimalkan kesadaran.

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk lebih memaknai hidup, agar selaras dengan tujuan kita, di antaranya: melakukan kebajikan, memperhatikan keindahan, kreativitas, senantiasa bertumbuh, menebarkan cinta kasih, menyadari keberlimpahan, dan terbuka pada hal-hal baru. Konon kata para pemikir, jika ingin mengetahui masa kini, maka lihatlah masa lalu. Jika ingin mengetahui masa depan, lihatlah masa kini. Kita tidak bisa mengubah masalalu atau mendikte masa depan, tapi yang bisa kita lakukan adalah mempengaruhi masa kini. Untuk itu, di sanalah (masa kini) kita harus menanamkan kesadaran penuh.

Agar hidup tidak sekadar hidup, lakukan sesuatu yang baru atau ciptakan sesuatu. Ini juga sifat-sifat ilahiyah. The Divine is always creating! Jadi Allah selalu menciptakan sesuatu, dan sebenarnya Dia telah memberikan anugerah kepada manusia untuk bisa berkreasi dengan kemampuan akalnya. Lakukan sesuatu yang baru setiap harinya, agar hidupmu lebih berwarna. Jika kamu menyukai tata boga, coba resep masakan yang baru, atau hidangkan dengan cara-cara baru. Jika kamu seorang guru, kreasikan model pembelajaran yang berbeda, entah kreativitas dalam ice breaking atau pola-pola diskusi yang menyenangkan. Untuk kamu yang masih sering bilang bahwa, “Aku orangnya gak kreatif.” Tolong, berhenti mengatakan itu pada dirimu. Ganti ucapan itu dengan kalimat yang lebih optimis, mungkin dengan kalimat "Aku belum paham caranya, apa boleh aku diajarkan bagaimana melakukannya?" Kita akan terus dalam proses belajar sampai liang lahat. 


Salam hangat,
AUW