Melalui buku Meditation yang berisi jurnal harian Kaisar Marcus Aurelius disampaikan bahwa, setiap hari ketika bangun tidur mulailah dengan mengatakan pada diri sendiri:
“Hari ini aku mungkin akan berjumpa dengan orang-orang yang pesimis yang suka mengeluh, suka mencela, suka menjatuhkan, suka merendahkan, yang suka kepo dan pansos, suka marah-marah, yang tidak tahu diri, dan sebagainya. Dan itu semua bukan salah mereka, mereka hanya tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi aku yang bisa membedakan keduanya juga sebenarnya memiliki sifat yang sama seperti mereka. Jadi aku tidak bisa marah terhadap mereka, karena manusia sebenarnya diciptakan untuk hidup berdampingan dan bekerja sama.”
Aku mendapati seseorang marah karena kemauan dan pendapatnya tidak diterima, yang tadinya bermula dari kekecewaan namun karena tidak teratasi dengan baik maka naik level menjadi suatu kemarahan. Jika kemampuan regulasi emosi yang dimiliki belum matang, maka akan naik level lagi ke fase kebencian. Dan jika dibiarkan terus menerus tanpa ada usaha untuk memperbaiki maka akan naik level lagi menjadi dendam.
Hari ini kita mungkin banyak bertemu dengan hal-hal yang menguras energi, baik di dalam rumah ataupun di luar rumah, apalagi di tempat kerja. Meskipun kita sudah berperilaku baik, belum tentu orang lain memperlakukan kita dengan cara yang sama seperti yang kita berikan. Berhadapan dengan orang-orang yang sering mengeluarkan energi negatif memang cukup melelahkan, tidak jarang kita juga menyerap energi itu jika tidak memiliki prinsip yang kokoh.
Hanya karena orang di hadapan kita marah, tidak berarti kita harus ikut marah. Ini sepenuhnya terserah pada kita. Perasaan emosi tidak melanda kita tidak seperti gulungan ombak di pantai, tetapi emosi terjadi karena suatu alasan. Kita tidak mungkin cemburu, sedih, atau marah tanpa sebab. Tapi karena kita merasa bahwa seseorang telah memperlakukan kita dengan buruk atau karena sesuatu itu tidak seperti yang inginkan.
Bukankah penilaian tersebut juga adalah hasil ciptaan di pikiran kita? Emosi adalah hasil penilaian yang kita buat, dan penilaian-penilaian ini sering kali keliru. Setelah diamati, ternyata sebelum kelahiran sebuah emosi terdapat jeda. Jika disadari, jeda ini akan sangat membantu dan mungkin kita akan mengatakan kepada diri sendiri, “Wahai diri, tunggu dulu. Biar kulihat fenomena apa ini, biar kucerna reaksi apa yang cocok ku berikan.”
Lalu, bagaimana kita menyikapi orang lain dengan hati yang sudah tertutup kabut tebal seperti ini? Ubah fokus, beri jeda, tarik nafas lalu hembuskan perlahan. Aku ingin membocorkan bahwa kebencian tidak pernah bisa dihentikan dengan kebencian, karena kebencian hanya bisa dihentikan dengan cinta kasih. Mempertemukan api dengan api hanya bisa menyulut kobaran yang lebih besar, dan akan sulit dipadamkan sehingga mampu menelan banyak korban. Aku mengatakan hal ini bukan karena tidak menvalidasi perasaanmu, namun karena hanya dengan jalan inilah kewarasanmu akan lebih terjaga. Jangan menghabiskan waktu dan energi untuk orang-orang yang sedang bergelut dengan emosinya, karena dia pun sedang berjuang melawan egonya. Menangguhkan kemenangan dengan cara elegan adalah dengan tetap bersikap tenang ketika lawan bicaramu sibuk meluapkan amarah dan mencari kambing hitam.
Dalai Lama dan beberapa orang-orang Tibet bertahan dari penyiksaan karena keyakinan mereka. Mereka dengan tingkat spiritual yang tinggi justru malah mengasihi orang-orang yang menyiksa mereka, sebab mengetahui bahwa perbuatan buruk itu hanyalah timbul dari batin yang memang bermasalah. Dengan pemahaman mereka tentang karma, maka mereka meyakini bahwa orang-orang yang memiliki pikiran yang tidak jernih serta menyakiti orang lain akan mengalami penderitaan yang dalam. Bukan menjadi tugas kita untuk menghukum atau menghakimi, kita bahkan bisa menantang diri kita untuk bersikap welas asih terhadap orang-orang yang menciptakan karma buruk untuk diri mereka sendiri.
“Ah, mudah sekali memang berkata, melakukannya tidak semudah itu!!” Perkataan ini kemungkinan akan keluar, dan dulu aku pun sempat mengatakan hal serupa. Tapi tetap memilih untuk memulai dan mencobanya berkali-kali, terus belajar mengembangkan kesadaran bahkan hingga sekarang proses belajar itu masih terus berlangsung. Karena aku merasakan manfaatnya, maka dengan berani aku membagikannya melalui tulisan ini. Perilaku buruk orang lain itu adalah tanggung jawab mereka, bukan bagian dari kontrol kita. Yang menjadi kontrol kita adalah reaksi atau respons terhadap hal-hal buruk itu. Rasulullah juga menyikapi orang-orang yang tidak menyukainya dengan cara yang bijak.
Banyak yang mengira bahwa kekuatan adalah ketika menang dalam pertikaian, padahal ternyata itu bukanlah satu-satunya indikator. Kekuatan sesungguhnya adalah ketika mampu membawa diri pada kesadaran murni. Kesadaran bisa membuat seseorang untuk memainkan remot kehidupannya, mengontrol dirinya sendiri dan melindungi dirinya dari luka-luka yang mengancamnya. Kesadaranlah yang sebenarnya mampu menyembuhkan, dan kesadaran tidak memerlukan analisa mendalam atau berpikir keras. Tapi hanya perlu melihat dengan jernih dan jujur. Seperti halnya saat melihat aliran sungai yang jernih, merasakan sensasinya, memerhatikan arusnya. Tanpa ada niat menyelam untuk mengukur kedalamannya, cukup memerhatikan, cukup menikmati.
Yuk, coba afirmasi ini setiap pagi: "My mind is clear, my hearts is open, and I’m ready to embrace the day" (Pikiranku jernih, hatiku terbuka, dan aku siap menyambut hari ini)
AUW
Senantiasa memberikan afirmasi positif pada diri merupakan motivasi yang baik bagi keseharian yang akan dilakukan.
BalasHapus