Melalui pendekatan fenomenologis, aku mencoba mengamati pengalaman manusia dan termasuk pengalaman personal yang aku miliki untuk mengambil hipotesis. Ternyata kita tidak dapat menggeneralisir bahwa cara terbaik dalam mencintai adalah A atau B, karena sangking kompleksnya manusia sehingga masing-masing jiwa memiliki cara terbaiknya dalam mencintai, yang dominannya dipengaruhi oleh faktor kondisi.
Pada beberapa bulan belakangan, aku diperlihatkan dengan beberapa seni manusia dalam mencintai. Aku mencoba mengerucutkan hingga menjadi dua bagian, menurutku ini telah mencakup secara umum dari fenomena-fenomena yang sering kita temui.
✓ Pertama, seni mencintai dengan mengikhlaskan. Hal ini tampak pada beberapa orang yang melapangkan hatinya untuk menerima bahwa tidak semua hal yang dicintai harus dimiliki. Terkadang kita cukup mengetahui bahwa yang dicintai tetap berada pada posisi aman dan tidak terluka. Seni ini tentu tidak mudah dilakukan, perlu kebesaran hati dan kekuatan yang besar dari dalam diri untuk bisa menekan ego. Karena ketika hati telah mencintai, ego-lah yang sebenarnya menginginkan. Sementara cinta itu sendiri adalah murni, yang membuatnya menjadi sebuah tuntutan hanyalah hasrat/hawa nafsu. Maha besar Allah atas segala ciptaan-Nya, memberikan cinta dalam diri manusia, pada sisi yang lain juga memberikan ruang bagi ego bisa hidup di sana. Sebagaimana kisah Salman Al Farisi, ketika mengikhlaskan wanita yang dicintainya untuk bisa dinikahi oleh sahabatnya sendiri. Karena ia yakin, bahwa yang dicintainya akan baik-baik saja ketika bersama sahabat yang telah ia ketahui pribadinya itu.
✓ Kedua, seni mencintai dengan mengorbankan. Ada cinta yang dipenuhi pengorbanan dan perjuangan, tak peduli pada hambatan apa saja yang dilaluinya. Karena bagi mereka yang memilih seni ini, cinta hanya bisa dibuktikan dengan pengorbanan. Entah itu mengorbankan, tenaga, waktu, maupun materi. Ketulusan yang mereka pancarkan di balik pengorbanan itu tentu akan menjadi sesuatu yang bernilai mahal, bukan tentang siapa tapi bagaimana dia melakukannya. Seni cinta ini menjadi panutan bagi banyak orang, termasuk seni ini juga yang dilakukan oleh Ibunda Khadijah Ra yang mengorbankan tenaga dan bahkan hartanya untuk kekasihnya tercinta. Namun karena ketulusan dan pengorbanannya itulah, yang membuat Nabi Muhammad juga sangat mengistimewakan dia di hatinya.
Jadi, sebenarnya cinta itu adalah seni yang memerlukan tindakan, bukan sekadar perasaan. Apakah tindakan itu dalam bentuk mengikhlaskan atau memperjuangkan. Tak ada yang salah dari kedua seni itu, manusia memiliki kemerdekaan untuk memilih jalan mana yang paling cocok untuk dilaluinya. Yang keliru adalah ketika manusia menodai kata cinta dengan rasa sakit dan luka-luka. Mencintai tidak akan menyakiti, karena sejatinya cinta adalah sifat ilahiyah yang indah, siapa pun yang memahami makna hakiki dari cinta maka tak akan pernah ada luka yang dibiarkan tumbuh.
Cinta adalah memberi, dan sebaik-baik pemberian adalah yang dilakukan dengan niat tulus. Jika dalam mencintai ternyata kita menyalahkan seseorang, perlu diperiksa kembali dengan melakukan refleksi, apakah benar cinta atau sekadar obsesif. Kita kadang menganggap pembahasan soal cinta sebagai suatu hal yang tabu dan menggelikan, padahal kita ada saat ini atas dasar cinta Ilahi dan tumbuh besar di bawah payung cinta kedua orangtua. Akhirnya kita menormalisasi bahwa orang yang mengekspresikan seni mencintai sebagai manusia yang "BuCin" alias budak cinta. Pernahkah kita menggali lebih jauh makna term tersebut? Kedua kata yang disandingkan: budak dan cinta.
Budak dalam terminologi diartikan sebagai seseorang yang kehilangan kebebasan dan berada dalam paksaan untuk melakukan sesuatu. Sementara cinta adalah fitrah manusia yang dianugerahkan Tuhan sebagai manifestasi dari keindahan-Nya. Sehingga kedua kata ini saling bertolak belakang dan tidak merepresentasikan makna yang sesungguhnya dari kebebasan manusia dalam berekspresi. Bagi seseorang yang mencintai dengan ketulusan, melakukan sesuatu atas dasar self awareness yang tinggi, tanpa paksaan, ancaman, atau pun doktrinisasi tentunya kurang selaras dengan pelabelan kata tadi. Sebaliknya, seseorang yang melakukan sesuatu untuk orang lain atas dasar paksaan, rasa takut ditinggalkan, diduakan dan semisalnya, sebenarnya dia bukanlah juga bucin. Karena sikap yang cerminkan berbanding terbalik dari makna cinta sesungguhnya. Itu hanyalah bentuk eksploitasi yang menjual cinta dari wujud aslinya : obsesi.
Maka dalam menanggapi rasa sebenarnya logika tak boleh dikesampingkan, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memaknai term, pun tidak terdapat hal-hal yang merugikan satu sama lain. Demikian kompleksitas manusia, memiliki akal dan hati untuk diolah dengan baik. Hati untuk mengasah kepekaan, dan akal untuk mengkritisi kejadian. Untuk menstabilkan keduanya, diperlukan ilmu agar senantiasa memperoleh nutrisi. Terakhir, aku ingin mengutip perkataan Jalaluddin Rumi, bahwa apapun yang kau dengar dan katakan tentang cinta, itu semua hanyalah kulit. Sebab, inti dari cinta adalah sebuah rahasia yang tak terungkapkan.
With love,
AUW
Tiap makhluk memiliki cara mencintai nya masing-masing. Yang diharapkan adalah orang yang dicintai merasa aman dan nyaman terhadap cinta itu.
BalasHapus