Sementara diskursus kedua, menerima setiap rasa sakit itu, menganggap bahwa kesakitan adalah upaya untuk membentuk diri menjadi manusia berdaya, dan inilah yang hendak ditawarkan oleh filsafat; tentang bagaimana memandang kehidupan sebagai sesuatu yang bermakna. Setidaknya, filsafat memberikan pilihan apakah manusia ingin hidup bernilai atau mati konyol. Filsafat tidak melarangmu bersedih atau menangis. Silakan, itu adalah hukum alam. Tapi dalam kaca mata filsafat, kesedihan dapat menjadi ladang kebijaksanaan. Semakin sering manusia ditimpa kesedihan dan penderitaan, semakin besar peluang dirinya menjadi bijaksana.
Jika para sufi melalui banyak maqam untuk sampai pada derajat manusia sempurna, maka untuk menjadi seorang filsuf, pun diperlukan kelapangan hati dan kejernihan pikiran agar mampu memaknai hidup ini dengan sebaik-baiknya pemaknaan. Jika kita memahami bahwa ada hukum yang pasti di dunia ini, yang disebut dengan dualisme. Ada gelap dan ada terang, ada kebaikan dan keburukan, juga ada dukkha (kesedihan) dan kesenangan. Seringkali, dukkha itu hadir karena tuntutan tanha (hawa nafsu). Demikian bisa dikatakan bahwa penderitaan yang dialami manusia adalah akibat dari kehendak atau keinginan-keinginannya yang tidak terpenuhi.
Kata Zeno, seorang pemikir yang mendirikan sekolah di stoa poikile-Athena, bahwa perjalanannya menyenangkan ketika kapalnya karam. Hal ini menjadi tema besar dalam filsafat Stoa, yakni di dalam kesukaran terdapat kekuatan dan pertumbuhan. Sebagaimana Seneca beranggapan bahwa pohon tidak mungkin berakar kuat jika tak sering diterpa angin. Melalui guncangan itu, pohon akan mengeratkan cengkeramannya serta menanamkan akarnya lebih kuat lagi. Para pemikir didominasi oleh orang-orang yang optimis bahwa segala sesuatu terjadi karena alasan.
Semoga kita senantiasa diberikan hati yang tenang pikiran yang jernih dalam menyikapi sesuatu.
AUW
Masyaa allah, keren sekali tulisannya
BalasHapus