Senin yang cerah, secerah pikiranku yang mengambang akan sosok seorang dosen yang belum pernah kutemui sebelumnya. Hanya mengenalnya melalui sebuah nama, namun wajahnya belum pernah terlintas di benakku. Ya, sudah lebih dari sepekan aku menanti pertemuan pertama pada mata kuliah Bahasa Indonesia. Sebuah pelajaran yang sejak bertahun-tahun lalu selalu menarik hatiku karena nilai estetikanya. Jam di pergelangan tanganku telah menunjukkan pukul 07.30, sosok yang ditunggu belum juga menampakkan diri. Namun, tak lama kami menanti akhirnya dia datang dengan sebuah tas hitam dalam genggamannya.
Sungguh, suasana nampak tegang begitu pula dengan yang kualami saat itu. Entah, apakah karena raut wajahnya terkesan sangat berwibawa atau hanya faktor belum mengenalnya lebih jauh. Namun, dia memang sosok yang cukup tegas. Beberapa teman yang terlambat bahkan diintrogasi sebelum dipersilakan masuk. Pertama kali memasuki ruangan, sosok yang tinggi lagi disiplin itu kelihatan sibuk mengeluarkan infocus berukuran cukup kecil, mungkin dia ingin memperlihatkan sesuatu kepada kami. Tidak seperti biasanya, beberapa dosen memulai pertemuan perdana dengan proses ta’aruf (perkenalan).
Baik memperkenalkan dirinya sendiri, atau mempersilakan mahasiswa untuk memperkenalkan diri satu persatu. Bapak yang berdiri di hadapanku itu tetiba menyapa kami dengan ucapan salam lalu kemudian sedikit bercerita tentang dirinya dan latar belakang keberadaannya di Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin. Meski cukup singkat, apa yang dia sampaikan sangat berkesan. Aku tertegun mendengar penuturan dosen itu ketika dia mengisahkan tentang awal mula dia menjadi mahasiswa UIN Alauddin jurusan Akidan dan Filsafat Islam. Takdir Allah tak pernah melesat, dan nyatanya demikian yang dialami oleh Bapak H.Ibrahim serta beberapa kawan di jurusan Akidah Filsafat, termasuk penulis sendiri. Ya, kala itu jalur pendaftaran terakhir yakni jalur ujian masuk khusus (UMK), sebab pada jalur-jalur sebelumnya dia tidak dinyatakan lulus. Sayangnya, kata beliau tak lagi ada prodi yang tersedia selain dari dua pilihan, yaitu Perbandingan Agama dan Akidah Filsafat Islam. Pemikiran beliau sama persis denganku tentang jurusan Perbandingan Agama. Benar juga, untuk apa agama dibanding-bandingkan? Life is choice, hidup memang pilihan. Jika kita tidak menentukan pilihan, maka pilihanlah yang akan menentukan hidup kita.
Sehingga sang dosen memutuskan untuk memilih jurusan Akidah Filsafat Islam. Dengan sangat jujur dia mengatakan bahwa jika seandainya tak ada kata akidah, maka jurusan itu pun dia tinggalkan. Kisah yang hanya bisa membuat senyum lebar tersungging di bibirku.
Detik demi detik terus berlalu, dosen itu terus berkisah tentang diri dan perspektifnya tentang filsafat. Masa-masa yang dia lalui sejak semester satu hingga semester lima hanya diisi oleh keraguan dan pikiran yang mengambang akan apa itu filsafat, dan untuk apa filsafat itu ditetapkan sebagai mata kuliah. Sebuah tanya dalam pikirnya yang membuat keraguanku semakin bertambah, dia mengatakan di hadapan seorang dosen yang saat itu merupakan dosen terbang dari Universitas Gadjah Mada (UGM) bahwa “Jika kita telah meyakini Tuhan itu adalah Pencipta yang sepatutnya kita sembah, lalu untuk apa kita mencari kebenarannya dengan akal? Bukankah telah kita ketahui sunnah Rasul-Nya maupun firman-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an? Untuk apa kita berfilsafat?”
Ini dia jawabannya. Izinkan aku mendeskripsikan perihal percakapan Pak Ibrahim dengan dosen beliau yang merupakan dosen terbang asal Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Agar tulisan ini tak hanya menoton sebuah narasi yang berisi paragraf demi paragraf. Namun juga berisikan dialog antar tokoh yang berperan di dalamnya.
Sebenarnya, aku sangat tidak sabar menanti jawaban dari dosen UGM tersebut. Dan nyatanya Pak Ibrahim melanjutkan cerita mengenai dialog beliau dengan sang dosen.
“Baiklah kalau begitu, aku akan membuktikan kepada kalian bahwa kita bisa mengenal Tuhan melalui akal,” tegas dosen UGM itu.
Seketika kelas menjadi hening dan timbullah rasa penasaran akan kisah selanjutnya …
Dosen UGM : (Memencet saklar lampu) “Apa yang kamu saksikan?”
Pak Ibrahim : “Aku melihat cahaya Pak”
Dosen UGM : “Darimana asalnya cahaya yang kau lihat itu?”
Pak Ibrahim : “Cahaya itu berasal dari lampu Pak”
Dosen UGM : “Kenapa lampu itu bisa menyala?”
Pak Ibrahim : “Karena strum Pak”
Dosen UGM : “Kenapa strum (listrik) itu bisa ada? Siapa yang menciptakannya?”
Pak Ibrahim : “Manusia Pak”
Dosen UGM : “Sekarang, siapa yang menciptakan manusia?”
Pak Ibrahim : “Allah Pak.”
Tetiba dosen dari UGM itu berkata, “Berarti Tuhan bisa dikenali melalui akal.”
Amazing, ini jawaban yang kutunggu-tunggu sejak tadi. Dan ternyata tak berhenti sampai di situ. Pak Ibrahim dengan volume suara yang lebih keras dari sebelumnya kembali menyampaikan kepada kami perihal cerita dosen beliau yang mengisahkan seorang ustad (da’i) di luar negeri. Bukan sekedar kisah, namun tepatnya sebuah fakta atau yang lebih akrab kita sebut dengan kisah nyata. Kantuk seakan takut menghampiri kala aku sedang mendengarkan penuturan dosen yang berdiri tepat di hadapanku itu. Berikut kisah yang disampaikan oleh dosen Pak Ibrahim beberapa tahun silam, lalu kemudian beliau menceritakannnya kembali di hadapan kami:
Dikisahkan seorang ustad sedang berceramah di atas mimbar dalam sebuah masjid, dan di tengah-tengah ceramah, beliau menyelipkan kata ‘Tuhan ada dimana-mana, dan Dia-lah yang pantas untuk kita sembah’. Semua audiens nampak mendengarkan dengan hikmat. Namun di luar dugaan, seorang ilmuwan yang menganut paham atheis duduk di pelataran masjid dan juga mendengarkan ceramah sang ustad. Setelah keluar dari pintu masjid, ilmuwan itu menghampiri ustad tadi untuk menanyakan beberapa hal yang mengganjal beginya.
Ilmuwan : “Apakah Anda yang tadi berceramah di atas mimbar?”
Ustad : “Ya, benar”
Ilmuwan : “Tadi aku tidak sengaja mendengar Anda mengatakan bahwa Tuhan ada di mana-mana. Sekarang, aku ingin bertanya pada Anda bagaimana mungkin Tuhan ada di semua tempat dalam waktu yang sama? Jika memang Tuhan yang Anda maksudkan memang ada, maka tunjukkan kepadaku di mana keberadaan-Nya dan bagaimana wujud Tuhan itu?”
Ustad : (Dengan raut wajah yang tenang) “Baiklah, hari ini juga akan aku tunjukkan dimana Tuhanku dan bagaimana wujud Tuhanku. Namun sebelumnya Anda harus menjawab pertanyaanku.”
Ilmuwan : “Silakan bertanya, aku akan menjawabnnya”
Ustad : “Apakah Anda percaya bahwa Anda berasal dari benih anak cucu Adam?”
Ilmuwan : “Ya”
Ustad : “Apakah Anda percaya bahwa dulu Anda adalah sebuah janin yang Tuhan tiupkan ruh di dalamnya?”
Ilmuwan : “Ya”
Ustad : “Apakah Anda percaya bahwa dalam diri Anda terdapat unsur-unsur yang mengakibatkan Anda bisa bersuara?”
Ilmuwan : “Ya”
Ustad : “Kalau begitu, coba Anda berteriak. Keluarkan suara Anda dengan lantang hingga bergema di angkasa.”
Ilmuwan : Aaarghhhh (Ilmuwan tersebut kemudian bersuara dengan lantangnya)
Ustad : Sekarang, coba Anda tunjukkan di mana keberadaan suara Anda tadi? Dan gambarkan bagaimana bentuk suara yang Anda keluarkan.”
(Dengan berpikir keras dan berusaha untuk mengumpulkan metode apa saja yang bisa dia gunakan, akhirnya ilmuwan itu tidak bisa menemukan apa-apa melainkan menyerah dengan perkataan Ustad tadi).
Tanpa sepatah kata pun, ilmuwan itu seketika beranjak meninggalkan Pak Ustad. Tentu saja, bagaimana mungkin seorang makhluk bisa menjelaskan Sang Khaliq. Kita hanyalah seorang hamba yang diciptakan, bukan kita yang menciptakan. Sehingga tidak berdaya dan tidaklah kita berkuasa untuk menggambarkan bagaimana wujud Tuhan. Sama seperti suara, kita hanya bisa mengetahui bahwa yang keluar dari mulut adalah sebuah suara namun kita tidak akan pernah bisa mendeteksi bagaimana bentuk dari suara itu.
Pada hari yang berbeda, di tempat yang sama ilmuwan atheis itu kembali datang. Namun kali ini dia ikut masuk ke masjid bersama para muslim lainnya untuk mendengarkan ceramah dari seorang ustad yang dia temui beberapa hari lalu. Seperti hari sebelumnya, setelah turun dari mimbar, ilmuwan tersebut lagi-lagi menghampiri sang ustad dan ternyata dia ingin menyampaikan bahwa pemahaman yang dianut oleh ustad itu adalah betul. Dengan segenap kerendahan hati ilmuwan atheis tersebut berserah diri untuk memeluk Islam dan hingga akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat yang dibimbing oleh sang ustad.
Hidayah memang milik Allah, serta konsep dari agama Islam itu sendiri adalah rahmatan lil ‘aalamiin.
Tak luput aku ingin menuangkan dalam lembaran ini bahwa Pak Ibrahim pernah ditanya oleh pihak dari pusat mengenai mengapa politik disatukan dalam satu fakultas yang sama dengan Ushuluddin dan Filsafat sehingga menjadi Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik? Dengan penuh kepercayaan diri beliau menjawab bahwa banyak politikus dan pejabat tinggi di negara ini yang ahli dalam hal politik namun dangkal dalam perkara ad-diin (agama). Sehingga ini diharapkan menjadi langkah awal bagi perkembangan Indonesia dan anak bangsa ke depannya. Tak menyangka, ternyata jawaban tersebut mendapat apresiasi, bahkan diminta untuk terus dikembangkan.
AUW
Notes:
Ini hanyalah goresan pengalaman agar tak lekang oleh masa, karena tulisan mampu mengikatnya agar tidak hilang.
Senantiasa menginspirasi tulisan-tulisannya
BalasHapus