Senin, 17 Maret 2025

Ramadan#17 : Cahaya Kasih Ilahi di Puncak Gunung

Ada rasa rindu dan keingintahuan yang menyerbu, seakan kedua kaki masih sangat kuat untuk menanjak menuju tempat bersejarah dan penuh kenangan bagi umat Muslim. Jabal Nur terlihat kokoh dan indah dari tempatku berdiri, waktu menunjukkan pukul lima sore waktu setempat. Semangatku semakin membuncah untuk bisa sampai ke puncak dan menyaksikan Gua Hira secara langsung, tempat di mana manusia istimewa itu gemetar dan berada dalam ketakutan. 

Setiap kali istirahat dan mengambil jeda untuk melanjutkan langkah kembali, aku selalu menoleh ke bawah, melihat betapa indahnya Kota Mekah dan betapa hebatnya perjuangan Ibunda Khadijah saat itu yang rutin membawakan makanan untuk Rasulullah yang sedang bertafakur di atas sana. Menapaki rute yang tidak mudah dan berbatu sembari membawa bekal untuk kekasihnya, sungguh pengorbanan yang tulus. 

Dengan ketinggian kurang lebih 640 meter, memerlukan waktu kurang lebih satu jam hingga sampai ke puncak. Aku melaksanakan salat Magrib di atas sana, dengan perasaan haru yang menyelinap masuk ke relung kalbu. Perlahan aku melangkah menuju mulut Gua Hira, yang posisinya menggantung di atas ketinggian, seakan punduk unta yang berada di gunung, dan bentuknya yang unik ini menjadi ciri khas dari Jabal Nur. 

Maha Besar Allah yang telah menciptakan gunung-gunung yang menjulang, serta langit-langit tanpa tiang yang berserakan keindahan gemintang dan rembulan. Hari semakin gelap, bermodalkan senter aku dan beberapa umat Muslim lainnya mencoba memasuki gua tempat Rasulullah bersemayam. Betapa besarnya kasih sayang Allah, sehingga di tempat yang kecil, sunyi, dan gelap itu hambanya dapat merasakan ketentraman dan cahaya hidup. 

Seketika visualisasi siroh yang pernah kubaca melayang-layang di depan mata. Dalam sebuah riwayat menceritakan bahwa pada suatu malam di bulan Ramadan, Nabi Muhammad Saw melihat sebuah cahaya yang tiba-tiba memancar menerangi gua yang gelap. Cahaya yang belum pernah ia lihat sebelumnya, seolah-olah mentari sedang terbit menyinari gua itu pada malam hari. Ia semakin panik ketika dari cahaya itu terlihat sosok makhluk aneh dengan ukuran yang besar, tetapi terlihat tidak seperti manusia. 

Sosok itu mendekat dan merengkuh Nabi Muhammad sambil berkata "Iqra" (bacalah), dengan penuh kebingungan Nabi Muhammad berkata "Aku tidak bisa membaca". Sosok kembali menarik Nabi Muhammad dan berkata, "Iqra", dan lagi-lagi ia mengatakan "Aku tidak bisa membaca". Hingga ketiga kalinya, sosok itu mendekapnya lagi dan berkata "Iqra", kemudian melepaskan Nabi Muhammad lalu mengatakan: 
"Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya ...." 

Sosok misterius itu tak lain adalah Malaikat Jibril yang menjadi perantara Allah untuk menyampaikan pesan cinta-Nya pada makhluk istimewa. Malaikat Jibril kemudian berlalu, menyisakan perasaan takut dan keringat dingin pada Nabi Muhammad. Betapa terenyuh hatiku mengingat bagaimana Rasulullah berlari dalam keadaan takut, menuruni Jabal Nur yang tinggi ini di tengah kegelapan hanya untuk menuju ke pangkuan istrinya. Namun dengan kelembutan dan keteduhannya, Ibunda Khadijah menyelimuti Rasulullah sembari berucap, "Tidak perlu takut. Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya, sebab engkau orang yang senantiasa menjaga silaturahmi, menghormati tamu, membantu orang yang membutuhkan pertolongan, menyantuni orang fakir, dan menolong orang yang tertimpa musibah." 

Aku menghela nafas lega, menghirup udara Kota Mekah di atas Jabal Nur dengan memori sejarah yang kembali terekam tentang pengabdian seorang hamba pada Tuhannya, tentang pengorbanan seorang perempuan pada kekasihnya, tentang cinta kasih Ilahi yang menembus alam pikiran manusia. Karena proses turunnya wahyu dari malaikat Jibril boleh jadi tidak diyakini oleh beberapa kepala jika dipaksa untuk membuktikannya secara ilmiah. Namun demikianlah kebenaran transendental mampu menembus batas-batas empirik. 

Kalimat yang diucapkan malaikat Jibril kini abadi dalam kitab suci umat Islam, tepatnya dalam Q.S Al-'Alaq pada juz 30, dikenal sebagai ayat pertama yang Allah wahyukan kepada Rasulullah Saw. Sejarah mencatat bahwa turunnya ayat ini juga menjadi waktu "Nuzul Al-Qur'an" atau turunnya Al-Qur'an yakni di bulan yang penuh khidmat, bulan suci Ramadan. Mayoritas ulama berpendapat malam tersebut adalah malam 17 Ramadan. 

Semoga kita termasuk orang-orang yang merindukan Rasulullah, agar dapat dipertemukan dengannya pada kehidupan selanjutnya. Allahümma shalli 'alaa sayyidina Muhammad

Salam hangat, 
AUW

1 komentar:

  1. Allahümma shalli 'alaa sayyidina Muhammad
    Semoga dimudahkan dapat kesana bersama orang terkasih dan tersayang.

    BalasHapus