Dalam Matsnawinya, Rumi mengutarakan bait. “Karena itu, sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos, pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos.” Dari segi fisik, manusia memanglah mikrokosmos karena kita hidup di alam. Kita membutuhkan makan, air, sayur-sayuran, dan kita pun memakan daging. Namun pada hakikatnya, manusia (bukan fisiknya), menurut Rumi adalah makrokosmos. Kita adalah alam lain yang lebih besar dari alam ini.
Sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib, “Apakah kalian mengira kalian ini hanya tubuh kecil, padahal kalian adalah alam yang sangat besar?” Manusia memang lebih banyak meneliti hal-hal di luar dirinya, sedangkan hakikat dirinya sendiri tidak pernah diteliti, tidak pernah mencoba meneropong ke dalam jiwanya. Rumi kemudian menjelaskan lebih jauh dengan sebuah perumpamaan:
“Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah, padahal ranting itu tumbuh justru demi buah.”
Jalaluddin Rumi mengumpamakan manusia ibarat buah, dan buah merupakan hasil akhir dan harapan petani yang menanamnya. Sedangkan alam ibarat ranting, ranting tercipta demi buah, dan hanyalah wasilah untuk tumbuhnya buah. Sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran bahwa alam diciptakan sebagai tanda dari kasih sayang Allah terhadap manusia. Agar manusia bisa memanfaatkannya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Sangking istimewanya, manusia diberi gelar "Khalifah" atau wakil Allah di muka bumi, dipercaya mampu mengatur dan hidup selaras dengan alam. Manusia juga dikatakan sebagai astrolab Allah, namun dibutuhkan seorang astronom untuk mengetahui astrolab. Ketika Allah telah menjadikan manusia bisa mengetahui dan mengenal diri-Nya, maka hamba itu akan mampu melihat ke dalam wujud astrolab itu. dirinya telah melebur dengan Tuhan dan keindahan mutlak.
Terdapat tiga bagian penting dalam diri manusia yang perlu dipelihara dan diberi nutriri, yaitu jiwa, akal, dan materi/jasmani. Sebagai makhluk spiritual, kita perlu memberi nutrisi bagi jiwa dengan memperbaiki hubungan terhadap Tuhan atau memupuk spiritualitas. Kita juga makhluk intelektual yang perlu memberi nutrisi bagi akal dengan belajar dan meningkatkan pengetahuan. Namun tak dapat dipungkiri, kita juga merupakan makhluk sosial yang memerlukan materi untuk bisa bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan.
Kehidupan yang seimbang adalah ketika ketiga bagian tersebut senantiasa dipupuk dengan baik. Manusia sejati adalah ia yang tak pernah berheti berusaha dan terus mengitari cahaya keagungan Tuhannya tanpa henti. Sementara Tuhan akan menyerap manusia dan menjadikan mereka bukan apa-apa, sebab Tuhan tak bisa dipahami akal siapa pun. Manusia menurut Aristoteles adalah الحيوان الناطق atau hewan yang berpikir. Itu berarti, dalam diri manusia terdapat dua kecenderungan. Pertama, memberikan hidangan pada sifat kehewanannya, yaitu nafsu dan harapan-harapan. Kedua, memberikan hidangan pada sifat kemanusiaannya, yaitu berupa ilmu, kebijaksanaan, dan kedekatan dengan Tuhan.
Semakin kita merenungi penciptaan diri sebagai manusia, maka besar kemungkinan perasaan beruntung itu menyelimuti, bahwa kita menjadi yang terpilih untuk berada di sini.
AUW
Terkadang, kita senantiasa membandingkan diri dengan orang lain. Padahal, kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan telah memiliki keistimewaan masing-masing yang perlu kita syukuri.
BalasHapus